Jumat, 05 Februari 2016

Titip Cium Buat Kamu



Dihadapanmu aku diam. Diam sampai kamu berlalu dengan pesonamu yang rupawan yang bisa berwujud apapun di dunia. Tapi kamu saat memanas adalah dambaanku, terutama pada malam-malam yang gigil menceritakan rindu. Aku tak tau sejak kapan ini bermula, yang ku semogakan adalah tak pernah ada akhirnya meski aku belum mampu menikmati tubuhmu sepenuhnya seperti mereka yang telah menghamba. Mencecap surga di dunia, katanya. Ah benarkah?

Maaf untuk aku yang meragu. Karena mengenalmu adalah perihal baru dari mereka laki-laki yang telah candu padamu, menjadikan kamu labuhan pertama sebelum menggerayang semesta yang tak pernah habis atau pulang dari lelah menaklukan beberapa ekor naga yang muncul dari ambisi mereka sesiangan. Jika benar di surga ada kamu, hitam kah kemudian ujung bahagia tiap manusia? Padahal aku kira selama ini hanya ada warna-warni pelangi disana. Tapi demi kamu, aku tetap mau jadi hamba yang baik dan taat agar Tuhan tetap mengajariku bahagia tak melulu menjumpai yang manis dan renyah. Kamu adalah rupa kebahagiaan yang datang lewat getir yang lekat, seperti sarkas dalam sindiran para penyair.
Padamu aku kehilangan kata. Seperti saat ini meski wujudmu tak ada. Menghidumu dalam imaji meruntuhkan ketakutan yang aku punya, digantikan kenangan pembicaraan tentangmu yang tak sudah. Tak ada satupun yang bisa ku balas, aku menjadi begitu dungu dan kecil sebagai seorang wanita. Ternyata pada banyak mata dan indra perasa, kamu yang jadi primadona. Seringkali dalam riasan yang tak menenggelamkan jasad asli, menuruti ego penghambamu yang berkelebihan harta. Namun kamu yang seada-adanya adalah kali pertama aku jatuh cinta. Karena semua yang mencintaimu tau, kamu lahir dari proses yang tak sederhana.
Mengenalmu adalah bahagia, meski prosesnya aku tau masih akan sangat lama untuk jadi sempurna. Bermula dari wangi tubuhmu dalam masa kanak-kanak yang terekam dalam amygdala, sejak itu baumu adalah tanda aku sudah sampai pada pulang. Sejak hari itu, cita-citaku adalah menyesapmu dalam berbagai cerita. Kamu menjadikanku pengelana yang tak pernah merindui rumah, karena semuanya adalah kamu ku rasa. Kejujuranku bertahan seringkali dicemooh orang, sayang. Hanya karena seringkali aku masih tak berani melucuti warna aslimu yang pahit. Apa aku berdosa? Semoga tidak, aku masih tau bagaimana hadirmu melewati kerongkongan ini kemudian meledakkan lega di dada. Tak setiap hari memang, karena ada saja bagianmu yang menghasilkan debar atau berontakan dalam tubuh ringkih ini, mengharuskan kita sejenak saling merindu. Kalau sudah begitu, aku tetap tak mau menyerah. Ciumku tak pernah mau habis, hanya ku titipkan pada tiupan berharap membawamu balik merekat pada seluruh raga yang resah tak sudah.
                                                                                                          Pengagummu dengan dua sendok gula
#30HariMenulisSuratCinta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar