Maaf untuk aku
yang meragu. Karena mengenalmu adalah perihal baru dari mereka laki-laki yang
telah candu padamu, menjadikan kamu labuhan pertama sebelum menggerayang semesta
yang tak pernah habis atau pulang dari lelah menaklukan beberapa ekor naga yang
muncul dari ambisi mereka sesiangan. Jika benar di surga ada kamu, hitam kah
kemudian ujung bahagia tiap manusia? Padahal aku kira selama ini hanya ada
warna-warni pelangi disana. Tapi demi kamu, aku tetap mau jadi hamba yang baik
dan taat agar Tuhan tetap mengajariku bahagia tak melulu menjumpai yang manis
dan renyah. Kamu adalah rupa kebahagiaan yang datang lewat getir yang lekat,
seperti sarkas dalam sindiran para penyair.
Padamu aku
kehilangan kata. Seperti saat ini meski wujudmu tak ada. Menghidumu dalam imaji
meruntuhkan ketakutan yang aku punya, digantikan kenangan pembicaraan tentangmu
yang tak sudah. Tak ada satupun yang bisa ku balas, aku menjadi begitu dungu
dan kecil sebagai seorang wanita. Ternyata pada banyak mata dan indra perasa,
kamu yang jadi primadona. Seringkali dalam riasan yang tak menenggelamkan jasad
asli, menuruti ego penghambamu yang berkelebihan harta. Namun kamu yang
seada-adanya adalah kali pertama aku jatuh cinta. Karena semua yang mencintaimu
tau, kamu lahir dari proses yang tak sederhana.
Mengenalmu adalah
bahagia, meski prosesnya aku tau masih akan sangat lama untuk jadi sempurna. Bermula
dari wangi tubuhmu dalam masa kanak-kanak yang terekam dalam amygdala, sejak itu baumu adalah tanda
aku sudah sampai pada pulang. Sejak hari itu, cita-citaku adalah menyesapmu
dalam berbagai cerita. Kamu menjadikanku pengelana yang tak pernah merindui
rumah, karena semuanya adalah kamu ku rasa. Kejujuranku bertahan seringkali
dicemooh orang, sayang. Hanya karena seringkali aku masih tak berani melucuti
warna aslimu yang pahit. Apa aku berdosa? Semoga tidak, aku masih tau bagaimana
hadirmu melewati kerongkongan ini kemudian meledakkan lega di dada. Tak setiap
hari memang, karena ada saja bagianmu yang menghasilkan debar atau berontakan
dalam tubuh ringkih ini, mengharuskan kita sejenak saling merindu. Kalau sudah
begitu, aku tetap tak mau menyerah. Ciumku tak pernah mau habis, hanya ku
titipkan pada tiupan berharap membawamu balik merekat pada seluruh raga yang
resah tak sudah.
#30HariMenulisSuratCinta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar