#30HariMenulisSuratCinta
Halo, aku bingung bagaimana harus menyapa laki-laki yang jauh lebih cerdas
juga punya wibawa. Rasanya, harus pula dalam diri ini menyiratkan hal sepadan,
tapi jika tak terlihat jadikan sekali ini adalah pemakluman. Lain kali aku akan
belajar. Menulis untukmu adalah percobaan yang tak beranjak dari menemukan
masalah, langkah satu dari lima dalam penelitian tuntas. Tak pernah selesai
apalagi terbaca kamu. Kamu, laki-laki yang sampai hari ini masih bertanda
lajang. Tapi hidupmu tak berhenti berkawinan dengan banyak hal baik.
Tak sulit menemukanmu
meski waktu itu adalah empat tahun yang lalu. Pikiranmu ada dimana-mana.
Tercecer di berbagai tempat dan membekas setelah aku berjumpa. Persis penunjuk
pada kamarmu sejak dulu di dunia maya. Cukup beberapa kali aku tertawa, baik
saat kamu masih ramai bercanda dengan dua sahabatmu (yang kini jarang ku temui
dalam formasi utuh) ataupun sendirian melempar kata pada ribuan orang di berada
rumahmu, aku tak lagi bisa berhenti untuk suka. Kata-katamu jujur dan dekat,
yang jauh cukup raga kita yang belum berkesempatan bertatap. Tak hanya
pikiranmu yang membuat aku mulai luluh, suaramu juga jari yang bisa digunakan
dalam bermain gitar selain mengetik dan menulis tentunya adalah sesuatu yang pernah
mengundang senyumku datang. Tapi memang tak ada yang lebih menyenangkan ketika
aku memiliki potongan-potongan pikir juga mimpimu dan kini satu-satu terwujud.
Kamu laki-laki baik yang omongannya bisa dipercaya.
2016, semakin banyak
caraku bertemu kamu. Makin banyak kamar kreatifmu bertebaran di rumah-rumah
besar. Sarana yang kamu jadikan untuk mengambil pundi juga berbagi. Tak hanya
semakin banyak, ada pula yang berkembang dalam dirimu. Hal baik tentunya. Kamu
perlihatkan dengan bebeapa judul buku yang berulangkali cetak ulang, kelas
menulis yang kamu buka untuk memanjangkan bantuan kepada yang membutuhkan
sekaligus menambah pengetahuan mereka yang berniat memaparkan pikiran secerdas
caramu, hingga puncaknya sebuah film adaptasi dari salahsatu judul bukumu
sendiri. Dari rencana, proses hingga hasil kamu disana. Tak pernah alpa apalagi
mundur. Kamu semakin hebat dan kaya. Hitunganku tentang materi lemah, tapi aku
tau pemuda Sragen yang dulu ribut membayar sewa kost, kini mampu hidup di
belantara Jakarta tanpa harus menghamba uang pada sang mama. Lebih dari itu,
banyak yang tak terhitung sebagai harta termasuk yang tak sengaja terbagi
kepadaku. Wajah-wajah baru berbeda warna yang mengisi kepala juga tawaku. Tapi
bagiku, kamu tetap yang nomor satu.
Seperti kamu, aku juga
ingin bermimpi dan mimpi adalah sebuah absurditas yang bisa jadi disetujui
Tuhan untuk menjadi fakta, nyata. Jika aku memimpikan kamu berganti status dari
lajang dengan namaku disana mungkin bahagiaku adalah utuh. Pikiranmu yang luas
mungkin punya jawaban atas banyak pertanyaanku yang biasanya hanya mendapat
respon pertanyaan-lu-apaan-banget-sih dan aku bisa tertawa sepuasnya dibalik
punggung atau memikirkannya dalam diam dalam rengkuhan pelukmu yang nyaman.
Tentu saja, aku akan berusaha sekeras mungkin tak mengganggu sibukmu sebagai
pengasuh dan bos yang baik di kantor. Aku juga punya kecintaan lain yang dapat
menyibukkanku dan tak akan kamu cemburui tentunya, karena pulangku akan selalu
kamu. Saat hal ini terjadi, aku sudah dalam kondisi tau bagaimana caranya
bahagia dan kamu pun sama. Kita hanya perlu menjadikannya satu untuk menyatukan
banyak keindahan. Karena aku percaya, kebehagiaan seseorag adalah warna yang
menyenangkan bagi orabg lain.
Sayangnya, aku tak
bisa memasak untuk memenangkan perutmu agar hatimu senang. Itu belum jadi
kesukaanku. Tapi bisa kan tempat makan favorit masing-masing dari kita menjadi
bagian dari keseruan tiap kita merasa lapar? Tak hanya di sekitaran Jakarta
(atau Bekasi), jika aku sedang berada di Yogya demi sebuah cita-cita menjadi
sarjana pengajar yang baik, aku bisa menemanimu makan enak di gudeg pawon yang
harus antre dari jam 9 malam untuk dapat seporsi gudeg ayam di jam 11 malam
lalu cari wedang ronde di sekitaran tugu. Setelahnya isi kepala kita bisa
beradu di udara hingga pagi atau kembali petang, kebiasaan yang buruk memang.
Tapi aku janji, itu hanya sesekali saat kunjuganmu kesini. Jogja memang banyak berubah, tapi sisi
romantisnya tetap terjaga. Aku rasa menunggu aku menikmatinya bersamamu.
Selalu menyenangkan
berandai-andai dengan seorang teman perjalanan. Setiap musim, setiap hari
bahkan satuan waktu apapun bisa berisi banyak rencana juga cita-cita yang tak
pernah ingin jauh dari nyata. Karena berjalan adalah menatap apa yang disguhkan
semesta di depan mata dan taka ada waktu membahas rasa perih pada luka yang
telah ada. Iya, pengandaian ini menjadi mudah karena sudah sejak empat tahun
lalu kamu menemaniku berjalan, menunjukkan bagaimana caranya menata satu-satu
mimpi kecil agar yang besar terlaksana, merasa sepenanggungan meski kita tak
bertemu muka hingga mengangkatku tinggi-tinggi agar aku melihat banyak sisi
dari dunia. Kamu yang mampu membahagiakan banyak hati dari babak belur milikmu
sendiri, yang bekerja keras tanpa henti untuk membayar semua caci maki dan
sejak lama membuatku jatuh hati tapi baru berani mengungkapnya disini.
Yang
berharap bisa berjabat denganmu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar