Rabu, 22 Juni 2011

tanpa rasa

jujur saja aku sudah lelah meniti jalan ini
kerap kali harus meyakinkan hati yang tak lagi ingin terusik pedih
dan membuka mata untuk dia yang datang tanpa tau ada pembatas dalam relungku
tapi untuk kali ini,ingin kutuntaskan sampai ia yang mengakhiri
meski tiap waktu selalu inginku segerakan semua
karena hanya ada tawa semu yang berderai
hanya ada langkah ragu yang terus membayang

hanya satu yang ku ingini,
membaca semua rasa dalam gelap dan sendiriku
karena sungguh,tak ingin lagi ku lukai siapapun
dan hatiku telah lama usang sejak luka itu. 

Kamera Lubang Jarum

Teknologi fotografi bermula dari keinginan manusia yang nyatanya memang menjadi tuntutan kebutuhan untuk bisa merekam gambar sepersis mungkin. Maka digunakanlah kotak penangkap bayangan gambar, sebuah alat yang mulanya untuk meneliti konstelasi bintang-bintang secara tepat yang dipatenkan seorang ahli perbintangan, Gemma Frisius, tahun 1554. Namun cikal bakalnya sudah dimulai oleh penulis Cina, Moti, pada abad ke-5 SM, Aristoteles pada abad ke-3 SM, dan seorang ilmuwan Arab ibnu al Haitam atau Al Hazen pada abad ke-10 M. Kemudian pada tahun 1558 ilmuwan Itali http://www.britannica.com/eb/topic?idxStructId=470999&typeId=13Giambattista della Porta menyebut “camera obscura” pada sebuah kotak yang membantu pelukis menangkap bayangan gambar.
Awal abad ke-17, Angelo Sala, ilmuwan yang berkebangsaan Italia menemukan proses “jika serbuk perak nitrat dikenai cahaya warnanya akan berubah menjadi hitam”. Selanjutnya berbagai percobaan pun dilakukan. Hingga tahun 1824, seorang seniman lithography Perancis Joseph-Nicéphore Niépce (1765-1833), setelah 8 jam meng-exposed pemandangan dari jendela kamarnya melalui proses “Heliogravure” di atas plat logam yang dilapisi aspal, berhasil melahirkan sebuah imaji yang agak kabur dan berhasil pula mempertahankan gambar secara permanen. Kemudian ia pun mencoba menggunakan kamera obscura berlensa. Maka pada tahun 1826 lahirlah sebuah “foto” yang akhirnya menjadi awal sejarah fotografi.
Merasa kurang puas, tahun 1827 Niépce mendatangi desainer panggung opera yang juga pelukis, Louis-Jacques Mande’ Daguerre (1787-1851) untuk mengajaknya berkolaborasi. Sayang sebelum menunjukkan hasil optimal, Niépce wafat. Baru pada tanggal 19 Agustus 1839, Daguerre dinobatkan sebagai orang pertama yang berhasil membuat “foto yang sebenarnya”: sebuah gambar permanen pada lembaran plat tembaga perak yang dilapisi larutan iodin yang disinari selama satu setengah jam cahaya langsung dengan pemanas mercuri (neon). Proses ini disebut daguerreotype. Untuk membuat gambar permanen, pelat dicuci larutan garam dapur dan air suling.
Di Inggris beberapa bulan sebelumnya, tepatnya 25 Januari 1839, William Henry Fox Talbot (1800-1877) memperkenalkan “lukisan fotografi” yang juga menggunakan camera obscura, tapi ia buat positifnya pada sehelai kertas chlorida perak. Kemudian pada tahun yang sama Talbot menemukan cikal bakal film negatif modern yang terbuat dari lembar kertas beremulsi yang bisa digunakan untuk mencetak foto dengan cara contact print, juga bisa digunakan untuk cetak ulang layaknya film negatif modern. Proses ini disebut Calotype yang kemudian dikembangkan menjadi Talbotypes. Untuk menghasilkan gambar positif Talbot menggunakan proses Saltprint. Gambar dengan film negatif pertama yang dibuat Talbot pada Agustus 1835 adalah pemandangan pintu perpustakaan di rumahnya di Hacock Abbey, Wiltshire – Inggris.
Dan di Indonesia, tahun 1997, saat teknologi digital mulai booming, saya yang mulai menggunakan kamera digital karena tuntutan pekerjaan sebagai profesional fotografi pun, mulai resah. Saya tidak anti digital, tapi saya pikir di dunia pendidikan fotografi lebih baik jika “mengetahui sesuatu dari dasarnya dulu”. Maka berawal dari sukses memotret pagar depan rumah tinggal dengan menggunakan KLJ kaleng susu 800 gram dengan negatif kertas Chen Fu tahun 1997, digelarlah workshop perdana pada tahun 2001 di lokasi pembuangan sampah Bantar Gebang dengan asisten instruktur Ipoel, didukung Galeri i-see, dan disponsori Kedutaan Belanda. Akhirnya, September tahun 2001 terbitlah buku “MEMOTRET dengan KAMERA LUBANG JARUM” terbitan Puspaswara. Saya menyebut pinhole camera dengan sebutan Kamera Lubang Jarum (KLJ) karena konsep dasar inovasinya berbeda. Saya tidak terlalu mempermasalahkan “teknik”, tapi mencoba menularkan “rasa yang mendalam” dengan menggunakan kata kunci khas Indonesia: “secukupnya”. Selanjutnya, digelarlah workshop tour “gerilya” di Jawa, Bali, bahkan Makassar, hingga pada 17 Agustus 2002 berani memproklamirkan KOMUNITAS LUBANG JARUM INDONESIA (KLJI) sebagai komunitas para pemain KLJ.
Sebagai sebuah filosofi KLJI sebenarnya tidak mempersoalkan masalah “kamera”, tapi makna “lubang jarum” lah yang kami garis bawahi. Karena lubang jarum bisa berarti kondisi dimana saat sulit datang bertamu dan pada saat seperti itu kita harus mampu meloloskan diri. Pantas jika Leonardo Da Vinci menyatakan: “Siapa yang akan percaya dari sebuah lubang kecil, kita dapat melihat alam semesta”, karena terbukti KLJ mengajak kita untuk berada dalam suatu ruang yang cukup luas untuk olah pikir, olah rasa dan bahkan olah fisik. Tetapi ruang itu harus kita penuhi dengan aksi-aksi nyata.
Sesungguhnyalah, KLJ menawarkan pemanjaan idealisme yang luarbiasa. KLJ menawarkan seni proses yang sangat melelahkan, tapi juga KLJ bisa sangat mengasyikkan. Mungkin hal itulah yang menggelitik sehingga KLJ bagaikan virus. Sangat pantas jika KLJ di Indonesia digunakan sebagai kendaraan untuk masalah “pendidikan” dan juga masalah “seni”. Ini terbukti saat mengikuti “Gigir Manuk Multicultural Art Camp” bulan september 2002 di Bali. KLJ di terima para seniman Bali dengan tangan terbuka. Malah kami sempat berkolaborasi bersama seniman lainnya seperti seniman lukis, tekstil dan bahkan teater.
Pada buku ke-dua yang diterbitkan Gramedia dalam bentuk majalah edisi Spesial Chip Foto Video bertajuk “RITUAL FOTOGRAFI” pada tahun 2008, saya menekankan bahwa fotografer harus melek digital tapi tetap menggarisbawahi pentingnya ber-KLJ; bahkan pada peluncuran buku tersebut digelar workshop KLJ tingkat lanjut yang selalu dicitakan sejak berdirinya KLJI 6 tahun silam, mencetak foto dengan teknik cetak penemu fotografi, William Henry Fox Talbot, abad 19, Saltprint. Dengan misi melahirkan kreator dan Instruktur yang berkwalitas, juga jika suatu masa bahan KLJ seperti kertas foto, developer, fixer, tidak lagi diproduksi akibat pasar yang berubah menjadi full digital, popularitas KLJ tidak akan lenyap bahkan seperti lahir kembali. Seperti sejarah lahirnya kamera beberapa abad lalu. Bahkan mungkin bisa melahirkan 10 George Eastman “Kodak” versi Indonesia serta bisa mencuri kembali waktu 100 tahun proses penemuan yang “hilang” di dunia fotografi Indonesia.
Tentu sangat ekslusif! Karena hanya orang2 tertentu saja yang mampu membuat bahan KLJ dengan tangan mereka sendiri (handmade). Bagi Indonesia yang kaya akan bahan baku dan orang-orang kreatif, peristiwa seperti itu bukan sebuah khayalan. Membangkitkan kembali proses salt print, albumen print, cyanotype dan banyak lagi, sepertinya bukan masalah besar. Terbukti keterbatasan alat dan bahan yang selama ini menghantui, berubah menjadi kelebihan bahkan pada akhirnya malah menjadi khas daerah. Sebagai misal, karena di Jogja kaleng rokok mudah didapat lahirlah KLJ kaleng rokok, bahkan ditemukan pula KLJ kaleng yang bisa menghasilkan distorsi yang luarbiasa dan ini lahir dan menjadi khas KLJ Jogja. Tapi karena di Malang kaleng susah didapat, maka lahirlah KLJ pralon bahkan lahir pula seorang ahli kamera KLJ kotak tripleks. Dan di jakarta lahir kamera KLJ “pocket” dalam arti sebenarnya, bisa dimasukan ke dalam saku.
Dan jika efek KLJ disebutkan tidak akrab lingkungan, justru hikmahnya adalah kita dapat menyisipkan pesan dan memperkenalkan cara menangani limbah yang ditimbulkan dalam proses fotografi analog dengan benar. KLJ mengajarkan kita menata limbah dan puing dunia menjadi lebih berarti. KLJ mengingatkan kita akan dunia materi yang fana sekaligus menjadi alat untuk pendidikan jiwa, penggemblengan rasa, dan eksplorasi kreativitas bagi para kreator fotografi Indonesia.
KLJ bukan alat yang sempurna tapi kendaraan untuk menjadi sempurna, meski hingga saat ini KLJI masih sarat dengan berbagai ujian, saya tetap yakin, bahwa kita masih ada di jalan yang benar
-->ragam KLJ




hasil foto KLJ