Membaca karyanya dalam bentuk asli tanpa perantara adalah hal yang seringkali saya hindari. Sejak terakhir kali saya menggebu membaca karyanya, Laskar Pelangi, saya kemudian hanya berani mengintip sastra yang ia ciptakan lewat sudut pandang orang lain yang lebih berani membaca atau paling mentok menikmatinya dalam bentuk visual, film yang diadaptasi dari beberapa miliknya.
Alasannya, saya tak ingin stuck di satu buku fiksi yang sama untuk waktu yang cukup lama karena banyak yang harus diimajinasikan ditambah memahami bahasa yang jarang saya temukan di buku lain. Intinya, saya masih jadi pembaca yang malas.
Namun akhirnya toh saya luluh juga pada buku ini karena perjuangan teman baik saya mendapatkan buku dan tanda tangan penulisnya sampai tercetak dua di bukunya. Iya, saya hanya pinjam kali ini. Judulnya yang memakai kata "Ayah" sangat familiar tak seperti novelnya yang lain juga membuat saya jumawa berani untuk membaca. Bahkan di tengah minggu Ujian Akhir Semester yang harus saya jalani! Paling ceritanya tak terlalu berat dan bisa dijadikan selingan membaca materi UAS, pikir saya waktu itu.
Bisa ditebak, dugaan saya meleset. Andrea Hirata tetaplah seorang penulis yang rumit dan serius, mengingat proses setiap bukunya adalah hasil riset yang amat panjang untuk sebuah karya fiksi. Tak biasa. Teringat membaca Laskar Pelangi, saya membutuhkan satu minggu untuk menghabiskannya, membaca novel ini saya harus merelakan 4 hari untuk tuntas membaca novel setebal 400an halaman ini. Bukan sebuah kemajuan saya rasa, karena ini tuntutan akibat buku ini hanyalah pinjaman seorang teman sehingga banyak bagian yang saya lewatkan terutama bagian sajak-sajak tokoh utama, sang ayah dan anaknya yang terwarisi kemampuan tersebut, demi bisa menyelesaikan novel yang memiliki alur cerita maju-mundur ini.
Seperti laskar pelangi, buku ini mengambil lokasi di Belitong dalam gambaran krisis setelah masa jayanya sebagai penghasil timah. Bertokoh utama juga sama, seorang laki-laki. Bedanya bukan lagi anak-anak, tapi bujang yang jatuh cinta mati-matian pada pandangan pertamanya sepanjang hidup, Sabari namanya. Tentu saja, tokoh ini ditemani sahabat baiknya. Dua orang dengan seluruh gambaran keunikannya akibat prinsip hidup hingga lingkungan dan budaya yang membentuk mereka bertiga. Dalam segala musim, ide, duka maupun suka.
Tak hanya sang tokoh utama juga kedua temannya, tokoh yang lewat dalam buku ini pun di deskripsikan dengan apik dan cukup rinci oleh si empu kisah, dalam sudut pandangnya. Sudut pandang ke tiga. Satu tokoh, diceritakan rincinya dalam satu bab yang sama tapi tak jarang berlaku bertolak belakang di bab lain, kebanyakan cinta penyebabnya.
Ini bukan novel roman bagi saya meski penuh puisi dan jungkir balik kehidupan nyaris setiap tokoh, bukan hanya tokoh utama karena cinta dari bab pertama hingga akhir. Ini fiksi dengan humor cerdas, kaya kearifan lokal juga sejarah sekaligus naif, untuk saya sendiri.
Kalau om Hirata menginginkan saya menangis di akhir cerita, ekspresi saya tetap sama Om. Mengerutkan kening dan berjanji untuk kembali membaca buku ini. Karena buku ini sukses membuat saya konsentrasi sepanjang diksi hanya agar saya mengerti setiap kejutan dari urutan kisah yang harus saya susun sendiri setiap selesai membaca satu bab. Tambahan kerutan, beberapa puisi yang sempat terbaca dan sebutan dalam bahasa daerah yang tak terunut dalam catatan kaki.