sesekali berhenti, untuk hal-hal seperti ini |
Sembilas belas
tahun lalu, kejadian ini masih kerap diceritakan ibu dan beberapa orang yang
ikut membesarkanku. Ketakutanku belajar berjalan setelah jatuh untuk kali
pertama. Mungkin kemudian hal ini yang tak lagi diherankan keluarga saya, jika
melihat bagaimana saya melangkah di kaki yang sudah lebih panjang dan
seharusnya semakin kokoh memijak. Kakiku kerap kali melangkah serampangan kata
orang, mendesak-desak orang yang berjalan di sebelahku sampai mereka kesal dan
tak mau melangkah lurus. Tak jarang kemudian, saya jatuh tanpa sebab yang
jelas.
Begitu juga kemudian
sepertinya saya membawa hidup. Memang bukan hanya takut yang kubawa hingga
langkah mlikku tak pernah sesempurna yang lain. Ada hamparan asa yang meminta
saya berani memilih jalan, entah dekat dan masih satu arah dengan mimpi-mimpi
sebelumnya atau jauh memutar, menikung atau bahkan menanjak jauh ke atas. Tidak
semua mengerti, bahkan saya. Hingga kemudian sampai pada satu-satu tujuanku dan
kembali dihadapkan berbagai persimpangan. Pekerjaan luar biasa dari hidup
memang menerjemahkan, milikmu sendiri atau dengan siapapun kamu berjalan
bersisian.
Langkah yang
kemudian dipandang orang sudah cukup jauh juga belum bisa mendapat ukuran yang
baik jika diperbandingkan. Kecepatan melangkah saya seringkali goyah, meledek
waktu dan ego dengan tiba-tiba behenti karena sekali jatuh atau bahkan tanpa
satu aba-aba. Seringkali hanya karena alasan keduanya tak pernah bisa berhenti
mengiringi kepala sedang saya butuh menata satu-satu kaki kanan atau kiri
terlebih dahulu yang harus ambil bagian. Iya, kebiasaan ngambek juga sering saya bawa menemani langkah. Padahal waktu kerap
kali berbaik hati menyediakan ruang untuk mengurangi seribu kecacatan yang saya
punya dengan bersiap. Tau sendiri apa akibatnya, tersaruk-saruk, tertinggal
hingga berantakan.
Melangkah,
memilih, dan menghidupi adalah perkara bulat yang tak bisa dipisahkan atau
bersisi. Sesekali menandai genap titik
yang sudah terlewati ku rasa bahkan waktu tak bisa merutukki. Untuk kedua kaki,
yang menopang seluruh tubuh ini berdiri hanya maaf yang sanggup saya eja dalam
perjalanan kita sejauh ini. Bahwa saya yang kerap kali berhenti, kemudian
kencang berlari karena waktu ingin lekas saya sampai sebelum ia kehabisan
sabar. Maaf pula untuk jejak-jejak yang kadang tak berarti apa-apa, tersesat
dan berputar-putar tanpa tau bagaimana saya bisa pulang pada cita-cita yang usang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar