Senin, 09 Januari 2017

Melangkah, Menghampiri Genap

sesekali berhenti, untuk hal-hal seperti ini

Sembilas belas tahun lalu, kejadian ini masih kerap diceritakan ibu dan beberapa orang yang ikut membesarkanku. Ketakutanku belajar berjalan setelah jatuh untuk kali pertama. Mungkin kemudian hal ini yang tak lagi diherankan keluarga saya, jika melihat bagaimana saya melangkah di kaki yang sudah lebih panjang dan seharusnya semakin kokoh memijak. Kakiku kerap kali melangkah serampangan kata orang, mendesak-desak orang yang berjalan di sebelahku sampai mereka kesal dan tak mau melangkah lurus. Tak jarang kemudian, saya jatuh tanpa sebab yang jelas.


Begitu juga kemudian sepertinya saya membawa hidup. Memang bukan hanya takut yang kubawa hingga langkah mlikku tak pernah sesempurna yang lain. Ada hamparan asa yang meminta saya berani memilih jalan, entah dekat dan masih satu arah dengan mimpi-mimpi sebelumnya atau jauh memutar, menikung atau bahkan menanjak jauh ke atas. Tidak semua mengerti, bahkan saya. Hingga kemudian sampai pada satu-satu tujuanku dan kembali dihadapkan berbagai persimpangan. Pekerjaan luar biasa dari hidup memang menerjemahkan, milikmu sendiri atau dengan siapapun kamu berjalan bersisian.

Langkah yang kemudian dipandang orang sudah cukup jauh juga belum bisa mendapat ukuran yang baik jika diperbandingkan. Kecepatan melangkah saya seringkali goyah, meledek waktu dan ego dengan tiba-tiba behenti karena sekali jatuh atau bahkan tanpa satu aba-aba. Seringkali hanya karena alasan keduanya tak pernah bisa berhenti mengiringi kepala sedang saya butuh menata satu-satu kaki kanan atau kiri terlebih dahulu yang harus ambil bagian. Iya, kebiasaan ngambek juga sering saya bawa menemani langkah. Padahal waktu kerap kali berbaik hati menyediakan ruang untuk mengurangi seribu kecacatan yang saya punya dengan bersiap. Tau sendiri apa akibatnya, tersaruk-saruk, tertinggal hingga berantakan.


Melangkah, memilih, dan menghidupi adalah perkara bulat yang tak bisa dipisahkan atau bersisi.  Sesekali menandai genap titik yang sudah terlewati ku rasa bahkan waktu tak bisa merutukki. Untuk kedua kaki, yang menopang seluruh tubuh ini berdiri hanya maaf yang sanggup saya eja dalam perjalanan kita sejauh ini. Bahwa saya yang kerap kali berhenti, kemudian kencang berlari karena waktu ingin lekas saya sampai sebelum ia kehabisan sabar. Maaf pula untuk jejak-jejak yang kadang tak berarti apa-apa, tersesat dan berputar-putar tanpa tau bagaimana saya bisa pulang pada cita-cita yang usang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar