Senin, 02 Januari 2017

Di Balik Mata

Saya selalu kagum pada tiap-tiap bagian dari tubuh ayah. Terutama punggungnya. Sejak kecil saya tumbuh disana secara harfiah atau makna kias. Saya, gadis sulungnya tak pernah cukup berani menyatakan banyak hal bila harus bertatap mata. Maka sampai hari ini, komunikasi kami berhenti setelah tiga empat baris kalimat. Lain jika saya lurus berada atau paling tidak menatap punggung tegapnya. Punggung yang tetap tegap sampai hari ini meski bebannya tak lagi saya bisa hitung, mungkin juga ia.



Rumah kami selalu saja aman sejauh yang saya tau, selama apapun saya pernah pergi. Saya selalu tau, punggung ayah dan tangan cekatan ibu aalah kuncinya. Punggung ini tidak seajaib kelihatannya, ia juga bisa merasa lelah setelah sesiangan duduk tegap di atas motor menjemput rezeki bagi keluarga ini. Buktinya, sejak kami anak-anaknya kecil permintaan kaki untuk bertandang untuk sejenak merilekskan punggungya adalah titah tak bisa dibantah yang selalu dimintanya baik-baik. Dalam sujud-sujudnya yang kadang lebih lama, kerap kali saya juga menebak-nebak apakah ini salah satu cara penopang tegapnya menyerah pasrah atau sekedar mengadu lelah pada Sang Pencipta.

Apa yang tidak diajarkannya lewat kata juga mata, satu-satu saya dapati melalui punggungnya. Punggung itu diam, sama dengan bibirnya yang tak sebanyak ibu mengeluarkan suara tapi selalu sanggup membuat saya melihat lebih banyak dan lebih jauh bila saya di atasnya. Tahun-tahun pertama dalam hidup, saya yakin punggung itu pula lah yang sering menggantikan kaki milik saya yang terlampau takut dan manja meniti langkah. Di tempat yang sama, saya kerap bersembunyi dari serbuan rasa takut lain dan menangis sepuasnya disana. Punggung selalu jadi tempat bersembunyi paling aman. Saya belajar sebelum perlu jauh melangkah, ketakutan tak selalu hanya butuh keberanian untuk menjadi lebih baik. Sesekali penerimaan tanpa memojokkan adalah hadiah kecil yang bisa diberikan untuk menciptakan rasa nyaman.


Hari-hari yang terus berlalu dan punggung-punggung lain yang kemudian datang untuk meneduhkan atau membutuhkan dukungan mengisi kosakata. Sebagian besar sudah pernah saya temukan pada punggung pertama yang saya cintai, membuat saya tak dihantui keasingan percakapan tanpa suara. Punggung-punggung ini tak selalu sama, tak seliat atau setegap milik ayah. Persamaannya adalah rasa menyenangkan dari dipercaya dan memercayakan sesuatu yang berada di balik mata. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar