Jumat, 06 Januari 2017

Angkasa

Langit menyerbu pandang, kemudian serta merta bertanya “Kamu mau pilih warna apa?”

“Memang boleh terserahku sekarang? Aku bahkan bukan siapa-siapa di belantara semesta.” Jawabku keheranan


“Selalu boleh, mengurangi 7 milyar suara yang selalu mengeluhkan rona terbaik dari milikku.” Jawab langit dalam merah yang marah.

“Maksudnya ada yang tengah berusaha agar tidak dikeluhkan sendirian? Aku sudah banyak menerima hal-hal seperti milikmu walau mungkin tidak 7 milyar setiap hari. Tapi menambahnya? Terima kasih.”

“Aku hanya diminta Tuhan untuk membubuhkan kebebasan yang sudah saatnya milikmu. Pilihan baru untuk tak lagi mengeluh seperti hari-hari lalu. Akan ada ruang di atas kepalamu, aku. Berjarak tak berbilang, tempat meletakkan angan-angan yang selalu terlihat dan semakin tinggi membawamu. Ini juga keberanian baru, menyingkap ketakutanmu menarik garis yang tak pernah lurus, membentuk bintang seterang dan sebanyak yang kamu mau. Menghadapi kelabu atau jingga yang akan terus berganti setiap hari bergantung dalam rupaku yang mana keinginanmu.” Jelas langit dengan sabar.

“Apa setiap orang juga punya bagian langitnya? Bayangkan, 7 milyar lebih manusia dan terus tumbuh, beranak pinak. Satu sama lain dari kami akan mengkavling, mengkotak-kotak berbicara bahwa langit masing-masing dari kami lah yang paling terang, paling indah atau paling kelam. Lalu, kami tak akan berhenti”. Kataku dalam ngeri, memandang citra tembaga miliknya.

“Punya. Bahkan tak hanya manusia. Aku melingkupi sejauh dimana napas memantulkan udara dalam ruangku yang diangap hampa. Tapi bila setiap mereka tau, tak ada lagi yang bisa mereka salahkan bukan? Atas hari-hari hujan, atas debu-debu yang mengisi ruang di atas kepala dan sinar yang datang untuk menunjukkan cara membaca.” Kering langit menjelaskan lewat desir anginnya.

“Siapa yang kamu tawarkan?” Tanyaku tak sabaran.

“Hampir semuanya, daftar teratas adalah yang mengeluh paling keras namun juga kerap kali memandangiku lama dalam hujan juga atau senja.” Langit tertawa.

Semu merah dari pipiku menjadi jawaban, dijiplak langit menyatu dalam kilaunya sebelum gelap. Dan mimpiku setia mengangkasa. 

2 komentar:

  1. Ah langit memang selalu istimewa. Bercengkerama sejenak dengannya memberikan kebahagiaan tersendiri. Tak jarang ia membuat tertawa dengan memainkan awan menjadi berbagi bentuk lucu 😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, langit selalu punya bahasa. Terima kasih ya sudah membaca

      Hapus