Semua langkah besar ditentukan
dari langkah pertama katanya. Saya mengamini pendapat baik entah siapa penutur
pertamanya. Proses panjang ini tidak pernah terangkai jika tidak ada langkah
pertama yang kemudian dengan tabah terus berlanjut.
November setelah percakapan dengan ibu adalah awalnya. Sejak hanya memikirkan tugas besar tanpa mendapat masalah yang
jelas, sebuah mata kuliah dan tentu saja dosen khsusus sengaja disiapkan agar
mahasiswa macam saya ini dipecut keras untuk berpikir. Saya harus
mempresentasikan rancangan penelitian yang akan saya ajukan untuk tugas akhir
di hadapan dua dosen dan teman-teman. Tugas ini menjadi langkah paling awal
untuk menemukan tumpukan masalah yang ternyata ada di bidang yang selama ini
saya pelajari.
Beberapa teman menyiapkan jauh
hari sebelum tiba giliran mereka. Sejauh saya ingat, teman-teman banyak yang
menyiapkan produk pembelajaran sebagai rencana tugas akhir mereka. Saya kagum
tapi sayangnya tak mampu mengikuti. Nilai kreatifitas saya akan hal-hal seperti
itu hanya mampu untuk melunasi SKS di perkuliahan biasa. Selain itu, saya juga
ogah diributi perkara instrumen persiapan hingga evaluasi untuk validitas
produk. Maka jadilah si pemalas ini mengambil penelitian analisis. Ada
orag-orang yang kemudian menyayangkan karena anak eksakta menggeluti penelitian
anak sosial, katanya.
Apa langkah ini mulus seperti
jalan tol baru yang belum ada abang-abang tukang tahu kalau macet? Ya tentu
saja tidak! Saya justru hampir ditelan langkah ini meski sudah merasa sangat
percaya diri. Penelitian yang saya rancang masih terlalu luas cakupannya. Saya masih
ingat menurut dosen pengampu, penelitian saya bisa seperti tiga penelitian
dijadikan satu. Meluas dan terlalu rumit. Saya bisa saja menyelesaikannya
dengan konsekuensi saya lulus jauh lebih lama ketimbang teman-teman sekelas. Ini
imbalan menjadi perfeksionis dan menggebu-gebu
tanpa siasat.
Lalu apa saya menyerah? Tidak. Tapi
saya memang sempat berhenti berkali-kali. Mengukur langkah selanjutnya yang
ternyata tetap tergesa-gesa tanpa perhitungan efektif. Sepanjang mengokohkan
rencana sampai akhirnya diterima dan penelitian berjalan, saya merasa seperti
sebuah mesin yang berkali-kali harus di-restart
ulang karena ketika akhirnya diterima dan harusnya sudah berjalan, saya harus mengubahnya untuk kemudian disetujui kembali. Banyak sekali langkah pertama yang hanya berujung sampai lima atau
bahkan dua.
Syukurlah, di belakang langkah
saya yang baru saja dimulai waktu itu ada jajaran dosen, kakak tingkat, dan
teman-teman baik yang menyempurnakan hitungan saya pelan-pelan. Seperti halnya
dosen yang paling pertama membaca rancangan juag isi kepala saya, ada
orang-orang yang ikut memepertimbangkan tempat, waktu, jarak, sampai biaya agar
saya selekas mungkin selesai. Kesabaran ini yang membuat saya malu untuk
berhenti di perjalanan yang baru saja dimulai waktu itu. Lalu semuanya
menjadikan saya begitu saja berani.
Saya sengaja menyimpan bagian ini untuk diingat, sebab tidak mudah memulai juga meneruskan apa yang menabrak banyak hal. Beberapa kali berhenti kemudian mengulang langkah bukan sebuah dosa. Saya kini menyadari tak ada yang sia-sia justru membuat kaya. Ada nama-nama yang tak pernah menghukum atau menghakim dan harus saya teruskan agar yang berhenti tak kemudian patah lalu menyerah.
Saya sengaja menyimpan bagian ini untuk diingat, sebab tidak mudah memulai juga meneruskan apa yang menabrak banyak hal. Beberapa kali berhenti kemudian mengulang langkah bukan sebuah dosa. Saya kini menyadari tak ada yang sia-sia justru membuat kaya. Ada nama-nama yang tak pernah menghukum atau menghakim dan harus saya teruskan agar yang berhenti tak kemudian patah lalu menyerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar