Sabtu, 18 November 2017

Tentang Tulah yang Disyukuri

Saya mau mebuat pengakuan. Ternyata saya bisa menjadi pengagum sesuatu yang hidup dengan cukup ekpresif seperti orang kebanyakan. Sebab, sebelumnya saya berkeras tak mengagumi siapapun selain kedua orang tua saya. Pengakuan ini mendesak untuk diumumkan, setelah patah hati kedua. Iya, gengsi saya sebesar itu sebagai orang yang terlahir dengan zodiak Capricorn dan bergolongan darah A. Hubungannya apa, terserah kamu saja.
Rara Sekar dan Ananda Badudu

Patah hati ditinggal idola kali pertama adalah ketika orang-orang memberi tahu bahwa Banda Neira pamit. Bubar. Diam-diam saya mencari sendiri informasinya, termasuk penjelasan yang langsung dilontarkan Rara dan Ananda Badudu. Perpisahan ini tiba-tiba tapi tak menyentak saya begitu saja pada awalnya. Hanya yang saya sesali (dan syukuri kemudian) adalah belum pernah melihat mereka bermain secara langsung di depan mata.


Sampai kemudian, di satu konser tribute untuk mereka saya hadir. Hanya dua lagu yang saya ikut nyanyikan, lagu yang berjudul Utarakan dan Biru. Lagu yang tak terlalu banyak orang tau, paling tidak penonton yang ikut berterima kasih lewat konser itu.

Dan suatu hari badai mengahampiri, kau cari kemana, dia masih di sana. Walau tak semua tanya datang beserta jawab.”
Rara dan Ananada sudah berpesan, akan terus di tempat yang sama kapanpun saya butuh menyampaikan pesan bahwa yang saya inginkan adalah bersama selamanya, sampai jadi debu. Pertanyaan-pertaanyaan yang masih saya simpan kemudian saya lepaskan setelahnya karena memang mungkin mereka datang tanpa kemampuan menyeret jawaban bagi seorang yang patah hati pelan-pelan. Lagu biru membiarkan saya benar-benar merasa luka. Segala yang jauh, segala yang luruh adalah biru. Masa singgah mereka habis, takkan sama lagi teduhnya seperti hujan dimimpi. Karya mereka hidup, dengan cara dirindukan bukan lagi mereka yang membaca syair sendiri.
Payung Teduh, sejauh ingatan saya

Lalu kini, punggawa Payung Teduh mematahkan sesuatu yang belum kembali benar. Band ini tak bubar, katanya. Mereka akan terus berjalan meski kini mungkin  sedang tak baik-baik saja. Siapa yang akan biasa saja ketika kehilangan, kan? Saya saja yang hanya sekali bersenandung dengan mereka dari jauh cukup merasa jatuh. Arman Dhani menuliskan elegi yang secara sadar membuat banyak pembaca ikut sesak.

Payung Teduh dan warna Is di dalamnya bukan saja menyoal lagu cinta penuh rayu bagi saya. Seperti juga kehadiran Banda Neira. Asal tahu saja, justru pertama mengenal keduanya bukan dari genjrengan atau kiriman syair dari seorang laki-laki yang kemudian bertahan bersama saya. Mereka sudah hadir untuk saya sejak sekitar tiga tahun lalu, saat telinga saya melarikan diri dari musik-musik yang lebih banyak dikenal orang. Iya, bagi saya lirik mereka lebih mampu merebut ingatan yang kemudian tak ingin saya bagikan sembarangan.

Terlebih suara dari Payung Teduh, semua lagunya akan mengingatkan saya pada bapak. Bapak yang lebih dulu memperdengarkan lagu-lagu dengan nuansa yang sama untuk dirinya sendiri, tentu saja kemudian saya. Bapak tak tau payung teduh, tapi pasti bapak tau bagaimana sejatinya merasakan sedikit cemas banyak rindunya tanpa dikatakan. Persis seperti nada yang ditarik Is di lagu tersebut. Saya tidak tau suara siapa lagi yang mampu menyambungkan kami berdua dalam ingatan saya.


Seperti yang dikatakan Dhani, perpisahan-perpisahan ini menyebalkan. Izinkan saya mengundang tangis untuk merayakan ini. Tapi beberapa keharusan mungkin kemudian dapat disetujui sebagai sebab kepergian. Bukan untuk mati dalam kerinduan, bisa jadi hanya ingin terus dihuni di ingatan tentang siapa atau apa agar tak sunyi menyayat hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar