Senin, 20 November 2017

Jalan Menuju Toga [Dorongan]

Ini kisah saya yang kesekian, bukan sesuatu yang teramat istimewa. Jutaan orang mungkin sudah mengkhatamkannya bahkan ribuan diantaranya menelusurinya lebih dari sekali. Saya mau membekukannya sebelum lupa, sebelum saya alpa mengulangi kesalahan jika nanti harus bertemu dengan kesempatan yang sama. Kisah ini akan menuturkan bagaimana akhirnya tugas akhir di bangku perkuliahan saya rampung. Mengantarkan saya purna.


Seperti semua cerita, perjalanan ini juga memiliki awal mula. Saya memulainya sejak tahun kedua kuliah, kemungkinan besar banyak mahasiswa yang memiliki mimpi sama. Mampu menyelesaikan studi kurang dari masa berlakunya. Apalagi saat itu seorang kakak tingkat yang sudah saya kenal sejak di SMP mampu membuktikan bahwa hal seperti itu nyata. Ia lulus sebelum genap 4 tahun ada di universitas. Pesannya saat itu meyakinkan bahwa saya akan jauh lebih berpeluang mengulangi prestasinya, karena katanya saya lebih rajin dan serius belajar. Saya aminkan saja. Berkat segala masukkan, saya mencatat baik-baik dan mematok sendiri kapan waktu kelulusan saya nantinya.

Nyatanya, kuliah 135 lebih SKS jauh lebih terlihat konkret dibanding 6 sisanya seiring dengan berjalannya waktu. Pikiran untuk menyudahi dengan cepat mulai berganti dengan keyakinan lulus tepat waktu sudah cukup. Tentu saja dengan sedikit terseret-seret mensejajari IPK dengan kategori standar yang paling tidak tak membuat orang tua atau pemerintah meminta uang mereka kembali saking kecewanya.

Pemikiran tenggat waktu lulus ini bodohnya tidak dibarengi dengan menyusun atau menghitung langkah secara matang. Jadi, niatnya ada tapi usahanya nol koma sekian. Mugkin Tuhan di atas sana juga gemas, sampai kemudian di satu periode wisuda ibu saya kebetulan dan sengaja (tapi tak bilang-bilang) mengunjungi putrinya. Saya ingat, percakapan hanya berisi beberapa kalimat selepas saya mendatangi mereka yang hari itu bersuka cita. Kami berdua lewat gedung wisuda yang masih ramai menuju stasiun, karena ibu mau pulang. Ibu melihat seperti apa marak dan meriahnya wisuda, saya menanggapi sekenanya. Kemudian ibu menanyakan sekaligus meyakinkan bahwa sebentar lagi giliran saya, juga gilirannya memandangi putrinya dalam balutan baju hitam kedodoran yang ampun-ampunan jeleknya. Saya tau itu waktunya diam sebab ketiadaan jawaban juga waktu untuk tersadar memang sudah saatnya.

Kejadian itu ada di bulan November tahun lalu, tepat setahun umur pertanyaan ibu. Saya tau, di hati kecilnya ibu mengharapkan jawaban yang lebih cepat. Apalagi saya pernah membumbung harapannya akan menyudahi masa kuliah di usia yang memungkinkan saya menjadi lulusan termuda. Beruntungnya, ibu mendorong saya tak terlalu kencang atau terlalu banyak. Sebab, mungkin saya yang akan mudah terjembab. Ibu cukup sabar menanti reaksi dari aksi yang mungkin tak disengajanya waktu itu. Hanya, gaya yang mampu saya hasilkan tak cukup besar melipatgandakan waktu yang terbuang di belakang. Hingga hasil usahanya pun tak terlihat cukup besar. Saya menyesali itu, semoga kamu atau lain waktu saya tidak harus menuliskan hal yang sama.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar