Ini kisah saya yang kesekian, bukan sesuatu yang teramat istimewa. Jutaan
orang mungkin sudah mengkhatamkannya bahkan ribuan diantaranya menelusurinya
lebih dari sekali. Saya mau membekukannya sebelum lupa, sebelum saya alpa
mengulangi kesalahan jika nanti harus bertemu dengan kesempatan yang sama.
Kisah ini akan menuturkan bagaimana akhirnya tugas akhir di bangku perkuliahan
saya rampung. Mengantarkan saya purna.
Seperti semua cerita, perjalanan ini juga memiliki awal mula. Saya
memulainya sejak tahun kedua kuliah, kemungkinan besar banyak mahasiswa yang
memiliki mimpi sama. Mampu menyelesaikan studi kurang dari masa berlakunya.
Apalagi saat itu seorang kakak tingkat yang sudah saya kenal sejak di SMP mampu
membuktikan bahwa hal seperti itu nyata. Ia lulus sebelum genap 4 tahun ada di
universitas. Pesannya saat itu meyakinkan bahwa saya akan jauh lebih berpeluang
mengulangi prestasinya, karena katanya saya lebih rajin dan serius belajar. Saya
aminkan saja. Berkat segala masukkan, saya mencatat baik-baik dan mematok
sendiri kapan waktu kelulusan saya nantinya.
Nyatanya, kuliah 135 lebih SKS jauh lebih terlihat konkret dibanding 6
sisanya seiring dengan berjalannya waktu. Pikiran untuk menyudahi dengan cepat
mulai berganti dengan keyakinan lulus tepat waktu sudah cukup. Tentu saja
dengan sedikit terseret-seret mensejajari IPK dengan kategori standar yang
paling tidak tak membuat orang tua atau pemerintah meminta uang mereka kembali
saking kecewanya.
Pemikiran tenggat waktu lulus ini bodohnya tidak dibarengi dengan menyusun
atau menghitung langkah secara matang. Jadi, niatnya ada tapi usahanya nol koma
sekian. Mugkin Tuhan di atas sana juga gemas, sampai kemudian di satu periode
wisuda ibu saya kebetulan dan sengaja (tapi tak bilang-bilang) mengunjungi
putrinya. Saya ingat, percakapan hanya berisi beberapa kalimat selepas saya
mendatangi mereka yang hari itu bersuka cita. Kami berdua lewat gedung wisuda
yang masih ramai menuju stasiun, karena ibu mau pulang. Ibu melihat seperti apa
marak dan meriahnya wisuda, saya menanggapi sekenanya. Kemudian ibu menanyakan
sekaligus meyakinkan bahwa sebentar lagi giliran saya, juga gilirannya
memandangi putrinya dalam balutan baju hitam kedodoran yang ampun-ampunan
jeleknya. Saya tau itu waktunya diam sebab ketiadaan jawaban juga waktu untuk
tersadar memang sudah saatnya.
Kejadian itu ada di bulan November tahun lalu, tepat setahun umur
pertanyaan ibu. Saya tau, di hati kecilnya ibu mengharapkan jawaban yang lebih
cepat. Apalagi saya pernah membumbung harapannya akan menyudahi masa kuliah di
usia yang memungkinkan saya menjadi lulusan termuda. Beruntungnya, ibu
mendorong saya tak terlalu kencang atau terlalu banyak. Sebab, mungkin saya
yang akan mudah terjembab. Ibu cukup sabar menanti reaksi dari aksi yang
mungkin tak disengajanya waktu itu. Hanya, gaya yang mampu saya hasilkan tak
cukup besar melipatgandakan waktu yang terbuang di belakang. Hingga hasil
usahanya pun tak terlihat cukup besar. Saya menyesali itu, semoga kamu atau
lain waktu saya tidak harus menuliskan hal yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar