Selasa, 10 Mei 2016

Gunung Andong, Pertama Untuk (tak) Seterusnya

Perjalanan ini milik kami, atas inisiasi rengekan panjang dari bibir saya dan waktu yang berhasil ia curi. Memang tak butuh waktu yang lama untuk selesai mencapai tempat ini. Tapi percayalah, bagi saya seluruh yang saya ambil berupa kenang tak berkurang sedikitpun sampai hari ini. Bila ada yang belum tau, Andong adalah kawasan pegunungan setinggi 1726 MDPL di daerah Kabupaten Magelang. 
 

Saya seorang bocah yang besar di kota dan berpeluh karena panas, bukan kelelahan. Dia, laki-laki yang tiga tahunan ini terbiasa naik turun berbagai kontur bumi terutama di sekitaran pulau Jawa ini. Jadi perjalanan ini pastinya timpang. Memakan waktu sekitar satu setengah jam, perjalanan ini menghasilkan saya yang terengah-engah membawa ransel hampir tak berisi dan dia yang membawa carrier lalu sibuk membuat tenda dengan wajah yang biasa-biasa saja.

Berhenti sebelum sampai puncak? Pasti dan berkali-kali. Apalagi bagi kami yang mulai naik jam 2 pagi, ini pengalaman pertama saya mengawali perjalanan dalam gelap. Saya tak suka sensasinya, tapi sangat terhibur oleh pemandangan dua langit. Di bawah dari tempat perjalanan kami yang dibuat dari banyak lampu, juga langit sesungguhnya yang cerah walau setelah hujan sebelumnya. Perjalanan menanjak dan memutar mengelilingi punggung gunung dalam gelap, cukup membuat saya kepayahan sampai harus berkali-kali saya menanyakan arah mana yang harus saya ambil. Padahal, arah ke atas sudah ditata cukup jelas. Iya, dia mempercayakan langkah yang harus kami ambil. 

Sampai puncak, kebingungan kami adalah mencari lahan yang cukup untuk mendirikan sebuah tenda kecil. Malam minggu ternyata ampuh membuat daerah puncak ramai. Tenda satu dan lainnya berdempetan, entah di lahan yang cukup datar dan luas sampai pada jalanan sempit menuju tanda puncak. Penerangan aman, karena ada dua warung yang dengan bangunan semi permanen menghuni disana. Ini hal yang kami syukuri, tak jadi memberatkan bawaan dengan peralatan masak dan makanan lain (saya memang malas). Meskipun sampai pulang, kami tetap tak jadi makan disana. Lha wong, makanan kami saja banyak yang dibawa turun lagi.
Awal April, hujan masih mengguyur tapi matahari pagi sudah sering muncul dengan terang. Terbukti, meski waktu matahari terbit dinginnya tak karuan, juga disertai kabut sampai sekitar jam 9, sunrise disini menyenangkan. Berbondong-bondong para pendaki keluar tenda termasuk saya setelah teriakan sahut-menyahut mengabarkan jam terbit matahari. Saya hanya di luar 10 menit lalu masuk lagi ke tenda karena tak tahan dingin dan kamera yang tak mau menangkap detik-detik terbitnya mega. Hanya saya? Iya, karena ia sudah kenyang menghadapi banyak terbit dan terbenam matahari di berbagai tempat dan ngantuk yang tak tertahankan.

Sepertinya hampir tak ada yang saya lupa dari perjalanan ini, saya masih menyimpan gemas karena kami harus berputar-putar arah jam 1 pagi mencari basecamp padahal gunungnya sudah terlihat. Keramahan dan kehangatan penduduk yang kami jumpai, warna langit yang bersih dari interupsi, candaan kami juga cerita yang mengudara sepanjang naik hingga kembali lagi sampai pada puncak yang menurutnya hanya sebatas jarak untuk jogging yang dikepung banyak gunung besar seperti, Merapi, Merbabu, Sindoro, Sumbing dan Ungaran masih jelas dihadapan saya dan dengan bantuan beberapa 
tangkapan kamera.



Ah iya, ada lagi. Janji saya untuk tak lagi memintanya menemani saya naik gunung. Meski saya suka caranya percaya dan sabar, tapi sekali lagi membuatnya gemas karena saya terlalu lamban dibanding langkah dan ritmenya yang terbiasa menguasai medan rasanya saya terlalu malu dan tak tega. Sampai sini, mungkin takkan cukup. Meskipun sebenarnya masih ada beberapa daftar gunung yang ingin saya datangi. Tapi saya bersiap untuk perjalanan lain yang sama-sama kami bisa nikmati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar