Senin, 16 Mei 2016

Yang kamu lakukan itu jahat, Rangga

Banyak yang tak asing dengan sepotong kalimat ini, apalagi mereka yang telah menonton sekuel film Ada Apa Dengan Cinta. Termasuk juga saya, bahkan bagi saya ini adalah kalimat yang merangkum keseluruhan isi film. Mari lupakan meembahas serba-serbi film ini, secara keseluruhan saya mengapresiasi dengan baik adanya film ini meskipun ada beberapa hal yang kurang saya sukai. Tapi tulisan ini bukan tentang itu, ini tentang emosi dalam kalimat yang diucapkan Cinta, sang tokoh utama.
Iya, apa yang dilakukan Rangga adalah jahat menurut saya. Seorang laki-laki dengan kemampuan menggoreskan puisi memang berbahaya, karena tanpa kata-kata bersayap dan dengan sedikit kata manis mereka mampu meluluhkan. Apalagi dengan puisi? Goresan itu tak berhenti pada diujung pena, ia masuk dalam hati dan mengendap dalam pikir. Tapi bukan begitu menjadikan puisi indah. Memporak-porandakan kisah yang hampir sampai pada babak baru, hanya untuk berbalik dan sekali lagi memulai. Apa Rangga tak cukup mengartikan bahwa berjuang itu sulit dengan bertahan hidup di Amerika? Hingga ia dengan tak tau diri meminta kembali apa yang pernah ia lepaskan pergi. Setelah seluruh jarak dan prasangka harus Cinta telan bulat-bulat sekian waktu. 


Dengan penjelasan sekian menit, selarik puisi dan sehari semalam tatap muka ia dengan gagah berani menarik Cinta sekali lagi. Saya pernah ada di posisinya, meninggalkan seseorang tanpa penjelasan pasti. Namun hingga saya berani mengungkap alasan mengapa saya pergi, tak ada lagi muka apalagi keinginan untuk kembali. Alasannya? Mungkin rasa masih ada, tapi hati yang terluka adalah langkah dengan waktu yang tak bisa ditarik ulang kembali. Saya sadar sepenuhnya untuk tak menghancurkan apapun yang sedang dibangunnya. Penjelasan hanya pemberian hak yang belum sempat saya tuntaskan dan usaha memaafkan diri sendiri dari sebuah kegagalan.

Bahkan dalam kelakuannya, Rangga seperti ibu-ibu menawar harga sebuah barang kepada seorang penjual. Pergi menyisakan gamang setelah semua simpanan terbaik penjual digelar habis. Untuk apa? Untuk memastikan bukan ia yang pada akhirnya meminta, tapi Cinta. Ia tau persis bagaimana perempuan luluh pada rasa iba dan hal-hal detil yang berisi kebiasaan pengundang tawa.

Apa ini murni kesalahan Rangga? Tentu tidak. Cinta yang pada akhirnya rela berbalik, mengulang sekali lagi pengejarannya atas rasa bahagia membiaskan kesalahan Rangga. Kejahatan termaafkan, apalagi dengan orang baru yang mengalah pada sang legenda. Tapi bagi saya, apa yang dilakukan Rangga tetaplah jahat. Menarik mundur langkah yang telah jauh maju tanpa pernah benar-benar menunggu hanya sebuah tindakan pengecut yang merasa jumawa. Ini pelajaran yang mungkin bisa saja saya dapati dalam nyata, saat itu mungkin terjadi semoga hati dan pikir milik saya tak selapang milik Cinta. Karena kembali lagi sakit dengan alasan yang sama bukankah justru lebih besar?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar