Senin, 23 Maret 2015

Saya hanya ingin menyalahkanmu

image by google

“Hari ini, saya janji sama kamu.
  Melindungi kamu.
 Sekarang dan nanti
 Saat hidup dan mati.”



                Tengah malam dan sebuah buku biru yang sudah lama saya incar adalah perpaduan pas untuk begadang. Meskipun beberapa jam lagi adalah pagi, toh saya memilih tak peduli. Rasa penasaran saya tak begitu menagih di awal cerita, sampai sempat meletakkan buku untuk memilih terbang ke alam mimpi tapi ternyata membaca runut hingga tuntas membuat saya tidak menyesal agak kesiangan esok harinya.
                Buku ini bukan buku pertama yang mengurai airmata saya. Lagian apa yang bisa dilakukan kata-kata sederhana yang dibumbui banyak jenaka untuk memaksa bulir airmata hinggap di tengah malam? Jawabannya tak ada. Sampai kemudian saya menutup sampul paling belakang dan berbalik untuk tidur. Buku ini diwarisi banyak cinta bapak, seperti penulisnya.  
                Kata-kata cintanya tak tertulis menggebu, semuanya akrab dalam telinga meski beberapa terdengar naïf atau sedikit klise. Tetap saja hati mengaminkan dan jutaan neuron otak tersentak. Tak ada kesedihan berlebihan yang dikisahkan di dalamnya, semuanya nyaris tentang cinta. Berbagai bentuk cinta dalam banyak nuansa yang biasanya diceritakan terpisah dalam berbagai kisah. Tapi bapak tau, cinta itu bertaut namun bukan membiarkan kuat menjadi lemah atau membiarkan banyak menjadi habis begitu saja. Cinta tak sesia-sia itu.
“Kata Bapak saya… dan dia dapat ini dari orang lain. Membangun sebuah hubungan itu butuh orang yang solid. Yang sama-sama kuat. Bukan yang saling mengisi kelemahan, Yu.”
                Buku ini telah mengajarkan atau lebih tepatnya memerintah saya mengakui cinta yang selama ini kerap saya tagih meski sudah saya dapatkan berlebih, kurang ajar benar! Seperti sosok bapak dalam buku ini, saya menyusun memori tentang cinta bapak saya sendiri yang berebut masuk dalam ingatan. Lalu membuat saya percaya cinta bapak tak terkatakan tapi pada waktu yang tepat selalu akan menyadarkan, tak pernah terlambat.
                Terimakasih, bapak matahari (ngomong–ngomong nama kita nyaris sama) telah menjelmakan buku praktikum menjadi kisah haru seru yang mungkin tak akan pernah tamat karena aku baru menangisinya di akhir kalimat. Esok hari, tolong benahi beberapa catatan kaki yang kau usahakan mengundang tawa yang membuatku justru mengeryitkan dahi. Beberapa keterangan tambahan untuk menambahkan ilmu eksakta yang tak dipelajari bangku sekolah, bisalah kemudian hari menjadi peubahnya. Salam untuk dua A jagoanmu dan Cakra versi lebih agak rupawan dan tak sayang Ayu tapi sayang saya, ya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar