Hal baik yang bisa kita beri tak harus ditunjukkan katanya. Biar
saja terlihat seperti rupanya, tak perlu dijelaskan dengan kata-kata. Jelas,
aku tak begitu menyetujuinya. Karena hidup ini tentang sedikit memberi dan
begitu banyak menerima, setidaknya kenyataan itu memberi paham setiap pemberian
kita adalah ungkapan dari sekian banyak yang kita terima. Tak semua memang
harus dibeberkan, cukup hati yang mengiyakan atau sebuah mata yang sedikit
tertarik ke atas karena senyuman. Satu pemberian juga dari apa yang aku terima
secara cuma-cuma dan tulus adanya adalah cinta majemuk yang tak pernah seragam.
Beberapa kata telah meluncur mengungkapkan perkenalan pada sebagian
kecil duniaku yang mempertahankan orang-orang tangguh yang banyak memberiku
arti dan tak berhenti sampai batas waktu yang pernah aku perkirakan. Aku
menerima mereka dan berharap bisa memberi sebanyaknya yang aku bisa.
Kenyataannya selalu saja rasanya tidak. Paling tidak, aku telah menunjukannya
bahwa aku memberi apa yang menjadi milik mereka dengan simpanan kata-kata dari
apa yang kubaca saat mereka ada atau pun tidak, karena berbicara di depan mata
sama saja menguraikan semuanya hanya dengan airmata.
Pemberian ini pun kutujukan pada satu lagi keluarga kecil yang
tercipta dari pahit manis rasa juga kasih sayangNya. Kami bersepakat menamai
diri kami, Panitia 9. Seingatku, hal ini bermula karena jumlah kami yang memang
setara dengan angka paling tinggi pada bilangan cacah secara beruntung
disatukan lalu bertahan pada dimensi waktu yang sama untuk berupaya mengadakan
perbaikan pada lingkup dimana kami dipersatukan, ekstrakulikuler paskibra SMA.
Satu orang laki-laki yang sudah aku kenal baik sejak duduk di Sekolah Dasar dan
delapan perempuan termasuk aku –beberapa
diantara mereka kukenal sejak SMP- membuatku menerima banyak bimbingan yang tak
pernah disediakan sekolah tentang banyak hal yang dikemudian hari menambah
bekalku untuk siap jika tak sedekat kemarin dengan mereka.
Secara cuma-cuma, kami saling belajar menerima sembilan pemikiran
berbeda juga rasa yang kerap kali bertubrukan. Bukan hal yang tergolong mudah,
tapi nyatanya beberapa kali kami berhasil dan mengubahnya menjadi pengharapan
bersama. Harapan-harapan yang kami larungkan pun satu-satu kami perjuangkan
dengan apa yang kami punya, sampai disana aku menerima banyak ketulusan yang
kerap kali kuhadiahi keluhan panjang pendek yang membuat pahit begitu terang.
Jika sudah begitu, mereka akan memagari kami bersembilan dari letupan ego yang
menginginkan kami tersulut hebat. Setelahnya, seperti yang DIA janjikan, usaha
yang berjauhan dengan kata mudah menempatkan kami pada pencapaian baru yang tak
bisa hanya diukur dari tropi juara. Rupanya, bertemu mereka dalam perjalananku
membuatku bisa mengisi sisi keras yang menjadi bekalku bertahan juga kelembutan
hati untuk tak memaksakan kehendak.
Masing-masing dari kami adalah pribadi yang dominan bagi yang lain
dalam waktu dan keadaan tertentu. Maka meski jumlah kami hampir memenuhi semua
jari saat berhitung, ejaan kami tetaplah satu. Ada yang membawahi permasalahan
kami sebagai bagian dalam sebuah pasukan, darinya aku diberi tanggung jawab
sebagai pengisi barisan di tengah pada satu lajur sebelum terakhir –percayalah
aku cukup tinggi tapi tak setinggi mereka– menekan ego untuk tak berbaris tepat
di depan pada bagian paling kanan adalah hasil didikannya, terbiasa mendengar
dan memahami suara yang keras dan instruksi dalam hitungan menit adalah
pelajaran berikutnya yang terpakai ketika ia tak lagi bisa meneriakiku dari
tengah lapangan. Sebelum pekerjaan lapangan dipimpin, ada juga yang menuntun
kami melakukan segala persiapan dengan cermat dan rinci. Membuatku harus mau
menerima kenyataan bahwa menyepelakan persiapan matang (seperti yang kerap aku
lakukan) menjadi bakal masalah yang bisa tak berkesudahan. Bukan saja saat kami akan turun ke lapangan,
mereka mengajarkan banyak cara bersiap menghadapi berbagai tujuan yang kami
cita-citakan mulai hanya sekedar keluar untuk makan sampai berhadapan dengan
orang-orang yang melelahkan. Kenapa kusebut ‘mereka’? karena ada dua sampai
tiga orang yang bisa mengajariku hal ini dengan baik.
Pemberian mereka tak berhenti saat kaki kami tak merasakan lapangan.
Secara bergilir, ada saja yang memperlihatkan bagaimana caranya memimpin,
mengikuti, bertanya, menjawab sampai urusan rasa peduli. Dari sini, aku bisa
belajar melalui mereka yang menerima untuk menjadi pengikut tanpa harus
kehilangan kendali. Mereka memberikan contoh untuk tak harus menjadi yang
paling kuat atau paling keras diantara yang lain untuk bisa membuat kami semua
tertawa geli, berpikir jeli sampai menangis menjadi-jadi.
Lalu apa yang pernah aku beri? Pernah satu kali, aku memberi pesan
cita-cita kami harus diteruskan meski aku tak bisa ikut menjejak lapangan.
Mereka menerimanya dengan baik dengan tersenyum berhujan peluh untuk beban
berlebih yang harus mereka tanggung karena pemberianku. Aku kira mereka
mengejekku yang menjadi begitu lemah saat tak lagi bisa berjuang, tapi ternyata
mereka yang mengembalikan diriku pada tubuh kami kembali. Tak pernah sekalipun
mengungkit kata, justru mereka membantuku belajar dua kali lipat dari biasanya.
Sampai hari ini, kami masih
bersembilan meski hitungan nyata tak lagi genap. Aku tak mengingkari satu
diantara kami purna sudah saat ini. Tugasnya selesai dan tak ada beban yang
harus kami tanggung, selain tetap menjaga keluarga ini. Tak seperti rehatku di
masa dulu, yang kemudian ku susul untuk secepatnya kembali. Kelak kami yang
akan menyusul ke tempatnya berada dengan senyum yang begitu khas sepertinya dan
kemudahan melangkah juga sepertinya, setelah pula banyak kebermanfaatan selesai
kami teruskan dari banyak usahanya di waktu kemarin. Mungkin, ia tak lagi bisa
membaca apa yang aku bekukan dalam tulisan ini tentang banyak penerimaan yang
aku miliki dari perjumpaan dan keluarga ini. Setidaknya, mereka yang lain
memberiku kesempatan untuk membaca banyak larik kata tentang cinta yang harus
terus ditulari agar semakin banyak keluarga atau teman yang mereka miliki.
Kesempatanku pula menuliskan apa yang ia jadikan pengingat bagi kami, bahwa
perjumpaan juga perpisahan telah menjadikan kita lebih rekat dan hangat. Di
tengah-tengahnya adalah senyum dan sapa yang terus terjaga.
Katanya, akan ada masa habis untuk sebuah perjumpaan manis yang tak
bisa dipersalahkan karena memang begitu adanya. Menurutku, semuanya hanya
sebuah jeda agar tak jengah kita bersisian dalam memberi dan menerima dari
sumber yang sama. Hari baru akan membawa daun-daun yang meranggas jauh ke
selatan tapi pucuk-pucuk hijau yang tak mau berhenti untuk tumbuh akan selalu
tiba lagi masanya dan kami akan tetap berusaha menjadi akar yang saling bertaut
dan mencumbui tanah dan mempertahankan hidup meski yang kami punya hanya
sari-sari kenangan yang mengendap dalam kepala juga rasa, itu cukup buatku menjadikannya
tumbuh bersama seperti biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar