Senin, 23 Maret 2015

1000 kata untuk kita


Hal baik yang bisa kita beri tak harus ditunjukkan katanya. Biar saja terlihat seperti rupanya, tak perlu dijelaskan dengan kata-kata. Jelas, aku tak begitu menyetujuinya. Karena hidup ini tentang sedikit memberi dan begitu banyak menerima, setidaknya kenyataan itu memberi paham setiap pemberian kita adalah ungkapan dari sekian banyak yang kita terima. Tak semua memang harus dibeberkan, cukup hati yang mengiyakan atau sebuah mata yang sedikit tertarik ke atas karena senyuman. Satu pemberian juga dari apa yang aku terima secara cuma-cuma dan tulus adanya adalah cinta majemuk yang tak pernah seragam.
Beberapa kata telah meluncur mengungkapkan perkenalan pada sebagian kecil duniaku yang mempertahankan orang-orang tangguh yang banyak memberiku arti dan tak berhenti sampai batas waktu yang pernah aku perkirakan. Aku menerima mereka dan berharap bisa memberi sebanyaknya yang aku bisa. Kenyataannya selalu saja rasanya tidak. Paling tidak, aku telah menunjukannya bahwa aku memberi apa yang menjadi milik mereka dengan simpanan kata-kata dari apa yang kubaca saat mereka ada atau pun tidak, karena berbicara di depan mata sama saja menguraikan semuanya hanya dengan airmata.

Pemberian ini pun kutujukan pada satu lagi keluarga kecil yang tercipta dari pahit manis rasa juga kasih sayangNya. Kami bersepakat menamai diri kami, Panitia 9. Seingatku, hal ini bermula karena jumlah kami yang memang setara dengan angka paling tinggi pada bilangan cacah secara beruntung disatukan lalu bertahan pada dimensi waktu yang sama untuk berupaya mengadakan perbaikan pada lingkup dimana kami dipersatukan, ekstrakulikuler paskibra SMA. Satu orang laki-laki yang sudah aku kenal baik sejak duduk di Sekolah Dasar dan delapan perempuan  termasuk aku –beberapa diantara mereka kukenal sejak SMP- membuatku menerima banyak bimbingan yang tak pernah disediakan sekolah tentang banyak hal yang dikemudian hari menambah bekalku untuk siap jika tak sedekat kemarin dengan mereka.
Secara cuma-cuma, kami saling belajar menerima sembilan pemikiran berbeda juga rasa yang kerap kali bertubrukan. Bukan hal yang tergolong mudah, tapi nyatanya beberapa kali kami berhasil dan mengubahnya menjadi pengharapan bersama. Harapan-harapan yang kami larungkan pun satu-satu kami perjuangkan dengan apa yang kami punya, sampai disana aku menerima banyak ketulusan yang kerap kali kuhadiahi keluhan panjang pendek yang membuat pahit begitu terang. Jika sudah begitu, mereka akan memagari kami bersembilan dari letupan ego yang menginginkan kami tersulut hebat. Setelahnya, seperti yang DIA janjikan, usaha yang berjauhan dengan kata mudah menempatkan kami pada pencapaian baru yang tak bisa hanya diukur dari tropi juara. Rupanya, bertemu mereka dalam perjalananku membuatku bisa mengisi sisi keras yang menjadi bekalku bertahan juga kelembutan hati untuk tak memaksakan kehendak.
Masing-masing dari kami adalah pribadi yang dominan bagi yang lain dalam waktu dan keadaan tertentu. Maka meski jumlah kami hampir memenuhi semua jari saat berhitung, ejaan kami tetaplah satu. Ada yang membawahi permasalahan kami sebagai bagian dalam sebuah pasukan, darinya aku diberi tanggung jawab sebagai pengisi barisan di tengah pada satu lajur sebelum terakhir –percayalah aku cukup tinggi tapi tak setinggi mereka– menekan ego untuk tak berbaris tepat di depan pada bagian paling kanan adalah hasil didikannya, terbiasa mendengar dan memahami suara yang keras dan instruksi dalam hitungan menit adalah pelajaran berikutnya yang terpakai ketika ia tak lagi bisa meneriakiku dari tengah lapangan. Sebelum pekerjaan lapangan dipimpin, ada juga yang menuntun kami melakukan segala persiapan dengan cermat dan rinci. Membuatku harus mau menerima kenyataan bahwa menyepelakan persiapan matang (seperti yang kerap aku lakukan) menjadi bakal masalah yang bisa tak berkesudahan.  Bukan saja saat kami akan turun ke lapangan, mereka mengajarkan banyak cara bersiap menghadapi berbagai tujuan yang kami cita-citakan mulai hanya sekedar keluar untuk makan sampai berhadapan dengan orang-orang yang melelahkan. Kenapa kusebut ‘mereka’? karena ada dua sampai tiga orang yang bisa mengajariku hal ini dengan baik.
Pemberian mereka tak berhenti saat kaki kami tak merasakan lapangan. Secara bergilir, ada saja yang memperlihatkan bagaimana caranya memimpin, mengikuti, bertanya, menjawab sampai urusan rasa peduli. Dari sini, aku bisa belajar melalui mereka yang menerima untuk menjadi pengikut tanpa harus kehilangan kendali. Mereka memberikan contoh untuk tak harus menjadi yang paling kuat atau paling keras diantara yang lain untuk bisa membuat kami semua tertawa geli, berpikir jeli sampai menangis menjadi-jadi.
Lalu apa yang pernah aku beri? Pernah satu kali, aku memberi pesan cita-cita kami harus diteruskan meski aku tak bisa ikut menjejak lapangan. Mereka menerimanya dengan baik dengan tersenyum berhujan peluh untuk beban berlebih yang harus mereka tanggung karena pemberianku. Aku kira mereka mengejekku yang menjadi begitu lemah saat tak lagi bisa berjuang, tapi ternyata mereka yang mengembalikan diriku pada tubuh kami kembali. Tak pernah sekalipun mengungkit kata, justru mereka membantuku belajar dua kali lipat dari biasanya.
 Sampai hari ini, kami masih bersembilan meski hitungan nyata tak lagi genap. Aku tak mengingkari satu diantara kami purna sudah saat ini. Tugasnya selesai dan tak ada beban yang harus kami tanggung, selain tetap menjaga keluarga ini. Tak seperti rehatku di masa dulu, yang kemudian ku susul untuk secepatnya kembali. Kelak kami yang akan menyusul ke tempatnya berada dengan senyum yang begitu khas sepertinya dan kemudahan melangkah juga sepertinya, setelah pula banyak kebermanfaatan selesai kami teruskan dari banyak usahanya di waktu kemarin. Mungkin, ia tak lagi bisa membaca apa yang aku bekukan dalam tulisan ini tentang banyak penerimaan yang aku miliki dari perjumpaan dan keluarga ini. Setidaknya, mereka yang lain memberiku kesempatan untuk membaca banyak larik kata tentang cinta yang harus terus ditulari agar semakin banyak keluarga atau teman yang mereka miliki. Kesempatanku pula menuliskan apa yang ia jadikan pengingat bagi kami, bahwa perjumpaan juga perpisahan telah menjadikan kita lebih rekat dan hangat. Di tengah-tengahnya adalah senyum dan sapa yang terus terjaga.
Katanya, akan ada masa habis untuk sebuah perjumpaan manis yang tak bisa dipersalahkan karena memang begitu adanya. Menurutku, semuanya hanya sebuah jeda agar tak jengah kita bersisian dalam memberi dan menerima dari sumber yang sama. Hari baru akan membawa daun-daun yang meranggas jauh ke selatan tapi pucuk-pucuk hijau yang tak mau berhenti untuk tumbuh akan selalu tiba lagi masanya dan kami akan tetap berusaha menjadi akar yang saling bertaut dan mencumbui tanah dan mempertahankan hidup meski yang kami punya hanya sari-sari kenangan yang mengendap dalam kepala juga rasa, itu cukup buatku menjadikannya tumbuh bersama seperti biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar