Sabtu, 08 April 2017

[Review] Danur : Usaha yang Perlu Diapresiasi


Sudah bukan rahasia, saya tidak pernah menjadi berani berhadapan dengan genre film horror. Apalagi horror Indonesia biasanya punya setan dengan rupa cukup mengerikan cenderung menjijkan. Tapi, beberapa bulan belakangan, ini adalah ketiga kalinya saya berhasil menyelesaikan tontonan yang musiknya aja bikin jerit-jerit. Alasannya, saya pede karena nggak akan jadi penakut gembel sendirian yang tiap beberapa menit kepingin jerit malah kadang jerit saya diwakilkan. Haha.

Danur merupakan film horror Indonesia pertama yang berhasil saya tamatkan setelah Mirror. Film ini diadaptasi dari sebuah buku dan ditulis dari kisah nyata, tentang seorang anak perempuan bernama Risa yang mendapatkan penglihatan lebih setelah tiup lilin di ulang tahun ke-8nya. Tradisi orang kesepian tiup lilin lalu mendapat sesuatu ini sepertinya sedang trend, tapi saya sarankan kalau kamu mau coba, tolong buat permohonan yang sangat spesifik. Jika tidak, kamu bisa lihat sendiri, kalau bukan goblin yang hidup abadi meski ganteng ya 3 bocah lucu tapi bukan manusia. Itu merepotkan, sangat.


Danur dibuka dengan cukup baik untuk membangun suasana seram, dimana Risa bermain piano dengan lagu yang diajarkan ‘teman-temannya’. Adegan ini sebenarnya merupakan potongan dari rangkaian klimaks di dalam film nantinya. Namun sayangnya, semakin ke belakang film ini antara keteteran memenuhi jalan cerita, membangun karakter pemain atau menghadirkan suasana seram dalam durasi 78 menit. Hasilya, film ini menghadirkan banyak adegan asal kaget dengan efek yang sudah pernah dipakai oleh film horror lain di luar negeri (ini bukan murni kata saya, karena saya tidak berani nonton film yang dimaksud).


Pengenalan tokoh yang dihadirkan dalam sisi pengambilan gambar yang terlalu dekat sejak awal membuat saya sebagai mata awam bergumam pusing. Padahal saya duduk di barisan seat A. Kenapa didekatkan? Mungkin ya itu, agar penonton mengenal karakter pemain lewat mimik atau ekspresinya. Sayangnya (lagi), pemain yang cukup ‘dalam’ disini hanya dua, Prilly Latuconsina dan Shareefa Danish – itu pun Danish spertinya banyak terbantu oleh permainan kamera – dan masih banyak kebuangnya menjadikan ia pemeran di film ini tapi tidak dieskplor terlalu jauh. Deret bintang lain, yang meski aktor dan aktris kawakan banyak yang lebih tidak dikembangkan lagi.

Terlepas dari plot dan pemain yang mungkin saya sok tau karena minim pengalaman tentang film bergenre ini, dari awal film saya mau teriak RISET! Ke arah layar, sunguh. Ini terus menerus jadi kebodoran film Indonesia diberbagai genre. Contoh ya, ibunya Risa memakai seragam PNS dengan lambang kabupaten Pringwulung yang mana itu ada di Lampung tapi ternayat set tempat mengarahkan kalau itu ada di daerah Jawa Barat. Lah terus tiap hari kerjanya naik apa? Buroq?
Bagaimanapun film ini layak diapresiasi dan dijadikan bahan belajar, mulai dari segi judul yang sudah membuat orang lain (saya) yang tak membaca bukunya menjadi penasaran, poster dan cuplikan yang meyakinkan hingga film horror Indonesia yang tidak menyuguhkan judul absurd dan adegan-adegan yang lebih absurd cenderung mesum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar