Sudah bukan rahasia, saya tidak pernah menjadi
berani berhadapan dengan genre film horror. Apalagi horror Indonesia biasanya
punya setan dengan rupa cukup mengerikan cenderung menjijkan. Tapi, beberapa
bulan belakangan, ini adalah ketiga kalinya saya berhasil menyelesaikan
tontonan yang musiknya aja bikin jerit-jerit. Alasannya, saya pede karena nggak akan jadi penakut
gembel sendirian yang tiap beberapa menit kepingin jerit malah kadang jerit
saya diwakilkan. Haha.
Danur merupakan film horror Indonesia pertama yang
berhasil saya tamatkan setelah Mirror. Film ini diadaptasi dari sebuah buku dan
ditulis dari kisah nyata, tentang seorang anak perempuan bernama Risa yang
mendapatkan penglihatan lebih setelah tiup lilin di ulang tahun ke-8nya.
Tradisi orang kesepian tiup lilin lalu mendapat sesuatu ini sepertinya sedang trend, tapi saya sarankan kalau kamu mau
coba, tolong buat permohonan yang sangat spesifik. Jika tidak, kamu bisa lihat
sendiri, kalau bukan goblin yang hidup abadi meski ganteng ya 3 bocah lucu tapi
bukan manusia. Itu merepotkan, sangat.
Danur dibuka dengan cukup baik untuk membangun suasana
seram, dimana Risa bermain piano dengan lagu yang diajarkan ‘teman-temannya’.
Adegan ini sebenarnya merupakan potongan dari rangkaian klimaks di dalam film
nantinya. Namun sayangnya, semakin ke belakang film ini antara keteteran
memenuhi jalan cerita, membangun karakter pemain atau menghadirkan suasana
seram dalam durasi 78 menit. Hasilya, film ini menghadirkan banyak adegan asal
kaget dengan efek yang sudah pernah dipakai oleh film horror lain di luar
negeri (ini bukan murni kata saya, karena saya tidak berani nonton film yang
dimaksud).
Pengenalan tokoh yang dihadirkan dalam sisi
pengambilan gambar yang terlalu dekat sejak awal membuat saya sebagai mata awam
bergumam pusing. Padahal saya duduk di barisan seat A. Kenapa didekatkan? Mungkin
ya itu, agar penonton mengenal karakter pemain lewat mimik atau ekspresinya. Sayangnya
(lagi), pemain yang cukup ‘dalam’ disini hanya dua, Prilly Latuconsina dan
Shareefa Danish – itu pun Danish spertinya banyak terbantu oleh permainan
kamera – dan masih banyak kebuangnya menjadikan ia pemeran di film ini tapi
tidak dieskplor terlalu jauh. Deret bintang lain, yang meski aktor dan aktris
kawakan banyak yang lebih tidak dikembangkan lagi.
Terlepas dari plot dan pemain yang mungkin saya sok
tau karena minim pengalaman tentang film bergenre ini, dari awal film saya mau
teriak RISET! Ke arah layar, sunguh. Ini terus menerus jadi kebodoran film
Indonesia diberbagai genre. Contoh ya, ibunya Risa memakai seragam PNS dengan
lambang kabupaten Pringwulung yang mana itu ada di Lampung tapi ternayat set
tempat mengarahkan kalau itu ada di daerah Jawa Barat. Lah terus tiap hari
kerjanya naik apa? Buroq?
Bagaimanapun film ini layak diapresiasi dan
dijadikan bahan belajar, mulai dari segi judul yang sudah membuat orang lain (saya)
yang tak membaca bukunya menjadi penasaran, poster dan cuplikan yang meyakinkan
hingga film horror Indonesia yang tidak menyuguhkan judul absurd dan
adegan-adegan yang lebih absurd cenderung mesum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar