Rabu, 19 April 2017

[Review] Get Out : Standing Applause, Kemudian Bengong

Saya berulang kali pergi ke bioskop tanpa perencanaan pasti mau nonton apa, karena biasanya yang dipengenin banget malah ngga ditonton. Kali ini kejadian lagi, awalnya mau nonton Night Bus yang beberapa reviewnya sudah saya baca dan cukup membawa rasa penasaran. Sampai di bioskop dekat rumah, ternyata film itu ngga ditayangkan di sana. Mau pulang atau pindah bioskop yang lebih jauh ngga mungkin karena langit gelap banget kayak musuhnya ultramen mau datang. Akhirnya sepakat lah nonton ini karena udah tanggung ada di situ. Tanpa tau jalan cerita apalagi sempat lihat trailernya. Saya sepakat hanya karena pernah lihat sekilas genrenya thriller, ah masih berani lah pikir saya.


Ternyata ini film horror ya? Haha. Tawa saya hambar begitu melihat pemberitahuan lulus sensor sebelum film ini mulai. Pantas, teman saya berkali-kali menanyakan apakah saya yakin mau nonton film ini. Ya udah terlanjur juga kan Haha.

Untungnya, film ini dibuka dengan adegan pasangan muda yang baru 3 bulan jadian. Ya jelas masih manis-manisnya lah, coba lebih dua atau tiga bulan lagi ga akan bisa semanis ini, yakin! Maksudnya sang sutradara cerdas juga membuka film seram dari keadaan yang kelihatan baik dan normal-normal aja, jadi rasa takut penonton ga habis dari awal. Rose (Allison William) yang berpacaran dengan Chris (Daniel Kaluuya) seorang Afro-Amerika berniat mengenalkan (yang katanya) pacar kulit hitam pertamanya ke keluarganya di kampung halaman. Sampai sini aja sebenarnya udah horror ngga sih di keadaaan normal? Ini lagi ternyata ibunya Rose psikiatri yang bisa ngubah-ngubah alam bawah sadar sekaligus mengendalikan pikiran orang dengan memanfaatkan trauma masa kecil. Belum lagi dua asisten rumah tangga di rumah itu yang sama-sama berkulit hitam bersikap ngga selayaknya orang satu asal sama Chris. Yak tul, bencana untuk babang Chris yang bulu matanya lentik banget itu dimulai di rumah pacarnya sendiri.

Pace film ini dibuat cukup lambat dan terjaga sepanjang film. Tetap ada beberapa efek kagetan tapi dalam porsi pas menurut saya, terutama dari pemeran pembantu rumah tangga Rose yang tida usah pakai acara tiba-tiba juga sudah bisa membuat saya ngeri. Horror dan rasa takut dalam film ini dikumpulkan dari berbagai pengalaman sang tokoh utama mulai dari rasisme, trauma masa kecil, kebingungan, penolakan, dan perasaan dikendalikan. Hal ini membuat rasa takut terbangun pelan-pelan dan terasa logis sehingga susah dilepaskan sampai akhir film. Tapi keseluruhan cerita tidak hanya menyuguhkan rasa takut yang terus meningkat, ada candaan sarkas yang memberi ‘ruang istirahat’ bagi para penontonnya.


Jika biasanya isu rasisme diangkat dengan dominansi kedudukan kulit putih, di film ini saya justru merasa perasaan dominan itu adalah sebuah kamuflase dari ketakutan mereka bahwa kulit hitam memiliki beberapa hal yang lebih unggul sampai harus dikendalikan. Baru kali ini saya merasa takut tapi tidak bisa melepaskan pikiran tentang keseluruhan cerita saat lama setelah filmnya selesai saya tonton. Satu yang saya syukuri, hobi nonton secara acak tanpa lebih dulu melihat trailer cocok untuk film ini karena ternyata trailernya berisi ringkasan film secara lengkap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar