Saya berulang kali pergi ke bioskop tanpa
perencanaan pasti mau nonton apa, karena biasanya yang dipengenin banget malah
ngga ditonton. Kali ini kejadian
lagi, awalnya mau nonton Night Bus yang beberapa reviewnya sudah saya baca dan
cukup membawa rasa penasaran. Sampai di bioskop dekat rumah, ternyata film itu
ngga ditayangkan di sana. Mau pulang atau pindah bioskop yang lebih jauh ngga
mungkin karena langit gelap banget kayak musuhnya ultramen mau datang. Akhirnya
sepakat lah nonton ini karena udah tanggung ada di situ. Tanpa tau jalan cerita
apalagi sempat lihat trailernya. Saya sepakat hanya karena pernah lihat sekilas
genrenya thriller, ah masih berani lah pikir saya.
Ternyata ini film horror ya? Haha. Tawa saya hambar
begitu melihat pemberitahuan lulus sensor sebelum film ini mulai. Pantas, teman
saya berkali-kali menanyakan apakah saya yakin mau nonton film ini. Ya udah
terlanjur juga kan Haha.
Untungnya, film ini dibuka dengan adegan pasangan
muda yang baru 3 bulan jadian. Ya jelas masih manis-manisnya lah, coba lebih
dua atau tiga bulan lagi ga akan bisa semanis ini, yakin! Maksudnya sang sutradara cerdas juga membuka film seram dari
keadaan yang kelihatan baik dan normal-normal aja, jadi rasa takut penonton ga
habis dari awal. Rose (Allison William) yang berpacaran dengan Chris (Daniel
Kaluuya) seorang Afro-Amerika berniat mengenalkan (yang katanya) pacar kulit
hitam pertamanya ke keluarganya di kampung halaman. Sampai sini aja sebenarnya
udah horror ngga sih di keadaaan normal? Ini lagi ternyata ibunya Rose
psikiatri yang bisa ngubah-ngubah alam bawah sadar sekaligus mengendalikan
pikiran orang dengan memanfaatkan trauma masa kecil. Belum lagi dua asisten
rumah tangga di rumah itu yang sama-sama berkulit hitam bersikap ngga
selayaknya orang satu asal sama Chris. Yak tul, bencana untuk babang Chris yang
bulu matanya lentik banget itu dimulai di rumah pacarnya sendiri.
Pace
film ini dibuat cukup
lambat dan terjaga sepanjang film. Tetap ada beberapa efek kagetan tapi dalam
porsi pas menurut saya, terutama dari pemeran pembantu rumah tangga Rose yang
tida usah pakai acara tiba-tiba juga sudah bisa membuat saya ngeri. Horror dan
rasa takut dalam film ini dikumpulkan dari berbagai pengalaman sang tokoh utama
mulai dari rasisme, trauma masa kecil, kebingungan, penolakan, dan perasaan
dikendalikan. Hal ini membuat rasa takut terbangun pelan-pelan dan terasa logis
sehingga susah dilepaskan sampai akhir film. Tapi keseluruhan cerita tidak
hanya menyuguhkan rasa takut yang terus meningkat, ada candaan sarkas yang
memberi ‘ruang istirahat’ bagi para penontonnya.
Jika biasanya isu rasisme diangkat dengan dominansi
kedudukan kulit putih, di film ini saya justru merasa perasaan dominan itu adalah
sebuah kamuflase dari ketakutan mereka bahwa kulit hitam memiliki beberapa hal
yang lebih unggul sampai harus dikendalikan. Baru kali ini saya merasa takut
tapi tidak bisa melepaskan pikiran tentang keseluruhan cerita saat lama setelah
filmnya selesai saya tonton. Satu yang saya syukuri, hobi nonton secara acak tanpa lebih dulu melihat trailer cocok untuk film ini karena ternyata trailernya berisi ringkasan film secara lengkap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar