Minggu, 30 Oktober 2016

Mengambil Ancang-ancang

Sekitar dua bulan yang lalu, saya baru saja selesai mengikuti kegiatan KKN yang saya ceritakan disini, sekaligus Praktik Pengenalan Lapangan (PPL) di salah satu SMA di Jawa Tengah. Kewajiban saya selama masa PPL ini adalah terjun langsung untuk memiliki pengalaman nyata dalam mengajar. Ternyata hal itu bukan hal yang mudah. Pertemuan-pertemuan pertama saya hancur. Banyak hal luput dari ideal mengajar yang sudah pernah diteorikan oleh para dosen saya di perkuliahan.
Berhadapan dengan mereka, berarti berlatih mengambil ancang-ancang
Jangan tanyakan model pendekatan apa yang saya gunakan dalam satu pertemuan. Untuk membuka pertemuan dengan menanyakan kesiapan belajar dan menutup dengan merangkum pelajaran saja saya lalai.  Tempo bicara yang terlampau cepat sebagai koreksi sejak masa pelatihan tetap saja bertahan, terlebih saya takut kehabisan waktu untuk menjelaskan ini dan itu. Senyum saya lebih sering menghilang selepas menjawab salam, karena grogi dan takut terlalu asyik terbawa bercanda. Melompat dari satu bahasan ke bahasan lain dan kembali lagi ke bahasan pertama tanpa pengantar dan bertanya perihal kepahaman mereka adalah kesalahan berikutnya.
Sedih? Pasti. Gemas? Sangat. Merasa enam semester yang diberikan sebelumnya sangat jauh dari kata cukup. Bukan tidak bisa, saat itu saya merasa semuanya sudah ada di dalam kepala. Saya masih ingat rasanya menjadi siswa di jenjang yang sama dengan kenakalan yang tak jauh berbeda. Tidak mungkin saya termakan umpan iseng mereka untuk sekedar memundurkan waktu belajar. Tapi saya lupa, baru kali ini saya berada dalam kelas besar sebagai seorang pengajar. Satu dua minggu berkenalan dan duduk diam mengamati jalannya pelajaran tak mungkin cukup untuk mengobservasi semuanya. Saya hanya baru memakai mata.
Padahal, seorang guru pernah berpesan bahwa mendidik adalah perihal menyemaikan budi baik dan kebermanfaatan pada apa yang kita sampaikan. Saya duduk dan menyadari, menyebar benih tak cukup dengan memperlihatkan. Tapi juga dengan membantu tangan lain memilih dan menggenggam bibit yang akan ditanam, mendengar kapan harus berbicara dan berhenti untuk memusatkan perhatian, melantangkan suara untuk memuji dan melembutkan ucapan ketika harus berisi teguran. Pendeknya, saya berlatih dan membayangkan kelas seperti apa yang bisa mewujudkan itu semua tanpa harus mengurangi rasa senang untuk belajar dalam berbagai rencana tertulis.  Perlahan, saya memberi tubuh dan pikiran untuk mengambil ancang-ancang sebaik dan sebanyak yang dibutuhkan. Tidak hanya untuk memenangkan tujuan dan hati mereka, tapi juga mengakui kalah dan salah yang sangat mungkin saya lakukan.
Saya yang juga terlalu jumawa untuk sekedar membuka catatan-catatan lama dan ingatan latihan yang sudah pernah dilakukan. Merasa pertanyaan anak SMA pasti kebanyakan hanya berisi permintaan penjelasan ulang teori. Aha! Saya terlalu naïf dan kurang update ternyata. Banyak pertanyaan yang mau tidak mau saya lontarkan kembali di dalam kelas, untuk menemukan jawaban dengan bahasa yang paling sederhana di deretan bangku siswa atau karena saya benar-benar kehabisan jawaban. Sejak itu, pelan-pelan saya lengkapi baris-baris memori yang rumpang dengan sekali lagi belajar dan bersiap menjawab berbagai pertanyaan. Dari mulai mereka yang sekedar mencari perhatian, hingga yang membuat saya kagum karena pertanyaan yang sama tak pernah saya lontarkan semasa SMA bahkan mungkin sampai kuliah.  Bahkan untuk perkara ini, saya tak mau bermain-main. Mengalpakan persiapan, sama saja mengurungkan niat mereka untuk percaya bahwa saya ada untuk membimbing mereka.

Lalu, apakah setelah semua ancang-ancang tersusun rapih saya punya hari mengajar yang mulus? Beberapa pertemuan iya, selebihnya tetap saja tidak. Terbukti, laporan-laporan praktikum banyak yang masih belum sesuai harapan dan tujuan yang saya tetapkan. Begitupun dengan soal evaluasi harian berupa ujian. Itu baru menyoal kemampuan kognisi dalam program yang sudah ditetapkan. Saya belum sampai menganalisis bagaimana keterampilan dan sikap baik yang dalam harapan saya mengikuti mereka. Tapi paling tidak, saya tak sedikitpun berniat menyepelekan mereka lagi. Merekapun mengenali saya dan (semoga) belajar bagaimana saya di kelas dengan atau tanpa persiapan. Karena seperti melompat, berlari atau menjatuhkan diri sekalipun tanpa persiapan, kita hanya akan ditertawakan waktu. Entah untuk kesialan atau keberuntungan, yang jelas tak ada penghargaan yang jelas pada apa yang sudah terlewati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar