Sekitar dua bulan yang lalu, saya baru
saja selesai mengikuti kegiatan KKN yang saya ceritakan disini, sekaligus
Praktik Pengenalan Lapangan (PPL) di salah satu SMA di Jawa Tengah. Kewajiban
saya selama masa PPL ini adalah terjun langsung untuk memiliki pengalaman nyata
dalam mengajar. Ternyata hal itu bukan hal yang mudah. Pertemuan-pertemuan
pertama saya hancur. Banyak hal luput dari ideal mengajar yang sudah pernah
diteorikan oleh para dosen saya di perkuliahan.
Berhadapan dengan mereka, berarti berlatih mengambil ancang-ancang |
Sedih? Pasti. Gemas? Sangat. Merasa enam
semester yang diberikan sebelumnya sangat jauh dari kata cukup. Bukan tidak
bisa, saat itu saya merasa semuanya sudah ada di dalam kepala. Saya masih ingat
rasanya menjadi siswa di jenjang yang sama dengan kenakalan yang tak jauh
berbeda. Tidak mungkin saya termakan umpan iseng mereka untuk sekedar
memundurkan waktu belajar. Tapi saya lupa, baru kali ini saya berada dalam
kelas besar sebagai seorang pengajar. Satu dua minggu berkenalan dan duduk diam
mengamati jalannya pelajaran tak mungkin cukup untuk mengobservasi semuanya.
Saya hanya baru memakai mata.
Padahal, seorang guru pernah berpesan
bahwa mendidik adalah perihal menyemaikan budi baik dan kebermanfaatan pada apa
yang kita sampaikan. Saya duduk dan menyadari, menyebar benih tak cukup dengan
memperlihatkan. Tapi juga dengan membantu tangan lain memilih dan menggenggam
bibit yang akan ditanam, mendengar kapan harus berbicara dan berhenti untuk
memusatkan perhatian, melantangkan suara untuk memuji dan melembutkan ucapan
ketika harus berisi teguran. Pendeknya, saya berlatih dan membayangkan kelas
seperti apa yang bisa mewujudkan itu semua tanpa harus mengurangi rasa senang
untuk belajar dalam berbagai rencana tertulis.
Perlahan, saya memberi tubuh dan pikiran untuk mengambil ancang-ancang
sebaik dan sebanyak yang dibutuhkan. Tidak hanya untuk memenangkan tujuan dan
hati mereka, tapi juga mengakui kalah dan salah yang sangat mungkin saya
lakukan.
Saya yang juga terlalu jumawa untuk
sekedar membuka catatan-catatan lama dan ingatan latihan yang sudah pernah
dilakukan. Merasa pertanyaan anak SMA pasti kebanyakan hanya berisi permintaan
penjelasan ulang teori. Aha! Saya terlalu naïf dan kurang update ternyata. Banyak pertanyaan yang mau tidak mau saya
lontarkan kembali di dalam kelas, untuk menemukan jawaban dengan bahasa yang
paling sederhana di deretan bangku siswa atau karena saya benar-benar kehabisan
jawaban. Sejak itu, pelan-pelan saya lengkapi baris-baris memori yang rumpang
dengan sekali lagi belajar dan bersiap menjawab berbagai pertanyaan. Dari mulai
mereka yang sekedar mencari perhatian, hingga yang membuat saya kagum karena
pertanyaan yang sama tak pernah saya lontarkan semasa SMA bahkan mungkin sampai
kuliah. Bahkan untuk perkara ini, saya
tak mau bermain-main. Mengalpakan persiapan, sama saja mengurungkan niat mereka
untuk percaya bahwa saya ada untuk membimbing mereka.
Lalu, apakah setelah semua ancang-ancang
tersusun rapih saya punya hari mengajar yang mulus? Beberapa pertemuan iya,
selebihnya tetap saja tidak. Terbukti, laporan-laporan praktikum banyak yang
masih belum sesuai harapan dan tujuan yang saya tetapkan. Begitupun dengan soal
evaluasi harian berupa ujian. Itu baru menyoal kemampuan kognisi dalam program
yang sudah ditetapkan. Saya belum sampai menganalisis bagaimana keterampilan
dan sikap baik yang dalam harapan saya mengikuti mereka. Tapi paling tidak,
saya tak sedikitpun berniat menyepelekan mereka lagi. Merekapun mengenali saya
dan (semoga) belajar bagaimana saya di kelas dengan atau tanpa persiapan.
Karena seperti melompat, berlari atau menjatuhkan diri sekalipun tanpa
persiapan, kita hanya akan ditertawakan waktu. Entah untuk kesialan atau
keberuntungan, yang jelas tak ada penghargaan yang jelas pada apa yang sudah
terlewati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar