Selasa, 04 Oktober 2016

KKN? Most Likely Super Summer Camp!




Anak KKN masih nyaru kan sama pemuda desa?


Kuliah Kerja Nyata (KKN) sebenarnya bertujuan utama sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat dari pihak mahasiswa dan kampus di masyarakat. Program ini biasa dijalankan kami, para mahasiswa di semester sekian (baca : tua ), yang sudah menempuh sekian SKS dan merupakan mata kuliah yang wajib. Maka dipastikan, setiap kampus yang memiliki program ini, mahasiswanya harus menjalani kegiatan ini untuk bisa sampai pada kelulusan.
Di kampus tempat saya belajar, pelaksanaan KKN dilakukan selama DUA bulan yang dibarengi oleh kegiatan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) atau magang di sekolah sebagai mahasiswa kependidikan. Dua bulan ini kapan? Tentu saja sewaktu masa liburan kuliah semester genap + waktu kuliah selama dua minggu. Di luar negeri, dari film dan buku yang pernah saya baca, kegiatan semacam ini dan dijalani para remaja (iya, saya masih remaja) biasa disebut summer camp. Mungkin bedanya, kami tidak lagi dibimbing setiap hari untuk setiap jadwal kegiatan, karena kami sendiri lah yang merancang kegiatan apa yang akan dilakukan di lokasi KKN dan bagaimana pelaksanaannya. Tentu saja kegiatan yang kami lakukan (diharapkan) dapat berdaya guna bagi masyarakat sekitar.
mencoba berdaya guna

Eksperimen Kimia Sederhana a.k.a belajar sulap
Seperti juga summer camp, disini kami mendapat apa yang sebelumnya jarang didapat di lingkungan sekolah kecuali memang sudah terbiasa dengan program seperti ini. Bagi saya pribadi, kegiatan ini mengajarkan beberapa peran baru yang biasanya dilakoni oleh orangtua saya apabila berada di lingkungan masyarakat. Saya, menjadi lebih berani berkomunikasi dengan orang-orang yang dituakan di lingkungan saya berada selama KKN untuk mensosialisasikan program atau menyampaikan pendapat. Padahal, lingkungan lokasi KKN yang saya dapat cukup berbeda karakteristiknya dibanding lingkungan tempat saya tinggal. Status mahasiswa yang sedang mengabdikan diri mungkin dianggap lebih dewasa ketimbang status putri ibu atau bapak saya :D.


Peran lain yang tidak terlalu baru bagi saya tetapi memiliki sensasi tersendiri adalah menjadi seorang legislator dan eksekutor sekaligus dalam tenggat waktu yang terbatas. Kami bersepuluh diharuskan merancang sekian program untuk meningkatkan desa terutama sumber daya manusia disana dengan sejumlah waktu yang harus kami penuhi. Kami juga harus melaksanakan dan menjamin semua kegiatan tersebut sukses di lingkungan kami KKN. Segala ilmu organisasi yang pernah saya dapat di kampus, rasanya masih sangat kurang untuk menjadi bekal dalam peran ini. Bagaimana tidak? Masyarakat kebih heterogen dibanding di lingkungan kampus, dari mulai gender, usia, pekerjaan sampai kepribadian. Belum lagi masalah waktu yang terbatas karena kami hanya bisa ada di lokasi pada akhir pekan selepas kegiatan PPL. Dikenali oleh banyak warga saja sudah alhamdulillah meskipun jarang srawung. Untunglah, di lokasi KKN kami, para warga sangat kooperatif dan semangat untuk mendapat kegiatan dan ilmu baru.
Terima kasih kerjasamanya, ibu-ibu!
Jangan tanya studi kasus apa yang harus kami jalani secara nyata, dua bulan dan sekian banyak tekanan mulai dari tenggat waktu, ego sampai masalah klasik yaitu dana. Semuanya ada. Saya pikir,  sudah waktunya  ada dana memadai  yang dianggarkan dan dapat diakses dengan mudah dari pemerintah ke desa-desa khusus untuk program ini. Karena kemajuan masyarakat desa bukankah juga salahsatu cita-cita bangsa dalam pembukaan UUD 1945, Memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa? Program seperti ini dapat dijadikan salah satu ujung tombak perubahan skala kecil dari Indonesia. Ada ratusan ribu pelajar tingkat universitas yang mengikuti program ini setiap tahunnya dan sungguh sayang apabila hanya sedikit yang dapat menjadi sebuah keberlanjutan karena terbentur dana yang dimiliki mahasiswa dengan jumlah tidak seberapa.
Dari sekian banyak studi kasus yang harus dihadapi, saya memiliki bagian terbaik selain bertemu langsung dengan masyarakat yaitu memiliki keluarga baru. Sepuluh orang yang mau saling menjaga agar kapal kami tetap selamat dan tak ada sedikitpun yang cedera. Lewat mereka, saya mempercayai apa yang Anais Nin pernah katakan,
“Each friend represents a world in us, a world not born until they arrive, and it is only by this meeting that a new world is born”
Bertemu dan bersama mereka menghadirkan dunia yang baru bagi saya, dunia yang tak selalu menyuguhkan tawa (altough almost of the days we have something for make us laugh) tapi selalu menyodorkan ke-apa-adaan-nya perasaan masing-masing baik secara sembunyi maupun terang-terangan dengan ego yang sedemikian rupa ditambah-bagi-kurang punya saya masih paling besar diantara mereka. Ada yang akan diam ketika saya salah sampai saya mengoreksi diri sendiri, akan ada yang berbicara selepas kesalnya reda, bahkan ada juga yang akan menertawakan kebodohan saya terang-terangan. Tak ada yang acuh, kami mau dunia yang kami bangun tetap utuh untuk waktu yang sangat lama.
Kalau ada yang bertanya apakah cukup kesempatan dua bulan yang diberikan untuk melaksanakan kegiatan ini? Jawabannya tidak, apa-apa yang kami kerjakan adalah permulaan yang saya yakin perlu kesinambungan. Baik di desa lokasi kami mengabdi maupun perjalanan keluarga baru ini. Ada yang harus melanjutkannya di lokasi yang sama dengan program yang memang berpotensi untuk membangun masyarakat sehingga tidak melulu mulai dari nol. Kalau perlu, desa atau kecamatan juga ikut memantau dan mengarahkan program apa yang harus lebih jauh dikembangkan sehingga tim selanjutnya tidak terlalu kesusahan untuk memulai dan warga juga bertambah potensial di bidang tersebut.
Sedangkan untuk kami bersepuluh? Boleh saya bermimpi masing-masing dari kita tak hanya abadi dalam kenangan tapi juga bersama dalam banyak perjalanan? Biar saja muluk, toh program di kelompok ini juga awalnya mimpi saya yang kelewat muluk tapi kalian yang justru tak mau menyerah dan mau turun tangan repot-repot mengerjakan ini itu sehingga semuanya tuntas. Terima kasih ya!

4 komentar: