Saya menangis
untuk banyak hal, dimanapun airmata ini mau turun, termasuk di depan layar atau
di hadapan buku. Airmata biasanya membuat saya lebih lama mengingat dan
memikirkan apa yang saya lihat setelah semua halaman atau layar berubah jadi
hitam. Baru-baru ini film Kartini lah sebabnya.
Tanah Jawa di
tahun 1800an dan segala tembang yang mengalun pelan untuk mengiring cerita adalah
hal pertama yang membuat saya mbrambangi.
Saya merasa beruntung sebab meski hidup nyaris seabad setelah Kartini lahir,
tembang Jawa juga mengiringi saya tumbuh. Bapak dan beberapa kali juga ibu yang
membuat saya bisa mendengarnya, saya rindu. Bumi Jepara kala itu dan Kartini
beserta saudara-saudarinya dalam film ini menjadi hidup berkat tembang yang
sengaja ditempatkan di sini.
Kemudian,
selanjutnya jelas alur cerita hidup Kartini dan perjuangannya membuat airmata
ini jatuh tanpa permisi. Jika hidupnya biasa-biasa saja, tidak mungkin
kelahirannya dikenang sebagai pembuka jalan bagi banyak perempuan di negeri
ini. Tangis yang sempat terbit sekaligus menjawab pertanyaan saya sejak lama.
Jika beliau berkorespondensi dengan Ny. Abdendanon di Belanda lantas kemudian
kenapa ia tak sekalian belajar di sana seperti jalan hidup tokoh pejuang
bersenjatakan pena lainnya? Meski memang nama-nama yang saya tau semuanya
laki-laki. Termasuk Kartono, kakak Kartini. Jawabannya mengabdi. Melepas sayap
yang selalu diinginkannya sejak hari pertama ada di kamar pingitan setelah
bersusah berlari dan melompat agar mampu terbang bukan perkara gampang. Meski
membuktikan cinta pada kedua orangtua dalam bentuk bakti juga bukan sesuatu
yang salah.
Tak hanya
menangis, saya juga tersenyum simpul menikmati sajian film biopik ini. Membaca
fakta bahwa ternyata Kartini tak seanggun foto di buku-buku pelajaran sejarah.
Meski tetap saja, para pemain perempuan di film ini ayu dan bersahaja dalam
balutan kebaya panjang dan sanggul besar khas Jawa. Hampir tidak ada gerakan
kaku yang dibuat pemainnya biarpun harus menggunakan kain, baik aktor maupun
aktrisnya. Berjalan, nyembah, naik
turun dokar sampai ngobrol di atas tembok pagar semuanya luwes. Mengingat diri
saya sendiri yang meskipun suka dan merasa cantik dalam kebaya tetap saja
mengeluh panjang pendek karena merasa kesulitan untuk berjalan.
Film ini
konsisten membuat saya belajar banyak hal, merasakan keberadaan Kartini
sekaligus menikmati kemampuan banyak pemainnya, juga mengaduk-aduk pikiran dan
perasaan. Sampai akhir saya menangis sekaligus sedikit tersenyum lega. Seorang
Bupati Rembang Aryo Djojo Adiningrat yang diperankan oleh Dwi Sasono menjemput Kartini di usia 26
tahun untuk diperistri. Meski tetap bukan menjadi satu-satunya karena begitu
lah aturan mengharuskan kala itu, Kartini dijemput karena diterima. Sang bupati
memang menginginkan Kartini karena pesan mendiang istrinya, tapi bisa saja ia
menampik semua syarat gila yang diajukan. Nyatanya tidak, Kartini dinikahi
dalam keaadaan dicintai dengan dukungan dan penerimaan layaknya sang ayah mencintainya.
Sampai kemudian seperti semua kisah sejarah menuliskan tugas raganya selesai
dalam usia yang masih cukup muda. Namun namanya, perjalanan, dan cita-citanya selalu hidup hingga film apik ini ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar