Minggu, 14 Mei 2017

[Review] Kartini : Perayaan dengan Airmata

Saya menangis untuk banyak hal, dimanapun airmata ini mau turun, termasuk di depan layar atau di hadapan buku. Airmata biasanya membuat saya lebih lama mengingat dan memikirkan apa yang saya lihat setelah semua halaman atau layar berubah jadi hitam. Baru-baru ini film Kartini lah sebabnya.

Tanah Jawa di tahun 1800an dan segala tembang yang mengalun pelan untuk mengiring cerita adalah hal pertama yang membuat saya mbrambangi. Saya merasa beruntung sebab meski hidup nyaris seabad setelah Kartini lahir, tembang Jawa juga mengiringi saya tumbuh. Bapak dan beberapa kali juga ibu yang membuat saya bisa mendengarnya, saya rindu. Bumi Jepara kala itu dan Kartini beserta saudara-saudarinya dalam film ini menjadi hidup berkat tembang yang sengaja ditempatkan di sini.

Kemudian, selanjutnya jelas alur cerita hidup Kartini dan perjuangannya membuat airmata ini jatuh tanpa permisi. Jika hidupnya biasa-biasa saja, tidak mungkin kelahirannya dikenang sebagai pembuka jalan bagi banyak perempuan di negeri ini. Tangis yang sempat terbit sekaligus menjawab pertanyaan saya sejak lama. Jika beliau berkorespondensi dengan Ny. Abdendanon di Belanda lantas kemudian kenapa ia tak sekalian belajar di sana seperti jalan hidup tokoh pejuang bersenjatakan pena lainnya? Meski memang nama-nama yang saya tau semuanya laki-laki. Termasuk Kartono, kakak Kartini. Jawabannya mengabdi. Melepas sayap yang selalu diinginkannya sejak hari pertama ada di kamar pingitan setelah bersusah berlari dan melompat agar mampu terbang bukan perkara gampang. Meski membuktikan cinta pada kedua orangtua dalam bentuk bakti juga bukan sesuatu yang salah.

Tak hanya menangis, saya juga tersenyum simpul menikmati sajian film biopik ini. Membaca fakta bahwa ternyata Kartini tak seanggun foto di buku-buku pelajaran sejarah. Meski tetap saja, para pemain perempuan di film ini ayu dan bersahaja dalam balutan kebaya panjang dan sanggul besar khas Jawa. Hampir tidak ada gerakan kaku yang dibuat pemainnya biarpun harus menggunakan kain, baik aktor maupun aktrisnya. Berjalan, nyembah, naik turun dokar sampai ngobrol di atas tembok pagar semuanya luwes. Mengingat diri saya sendiri yang meskipun suka dan merasa cantik dalam kebaya tetap saja mengeluh panjang pendek karena merasa kesulitan untuk berjalan.


Film ini konsisten membuat saya belajar banyak hal, merasakan keberadaan Kartini sekaligus menikmati kemampuan banyak pemainnya, juga mengaduk-aduk pikiran dan perasaan. Sampai akhir saya menangis sekaligus sedikit tersenyum lega. Seorang Bupati Rembang Aryo Djojo Adiningrat yang diperankan oleh Dwi Sasono menjemput Kartini di usia 26 tahun untuk diperistri. Meski tetap bukan menjadi satu-satunya karena begitu lah aturan mengharuskan kala itu, Kartini dijemput karena diterima. Sang bupati memang menginginkan Kartini karena pesan mendiang istrinya, tapi bisa saja ia menampik semua syarat gila yang diajukan. Nyatanya tidak, Kartini dinikahi dalam keaadaan dicintai dengan dukungan dan penerimaan layaknya sang ayah mencintainya. Sampai kemudian seperti semua kisah sejarah menuliskan tugas raganya selesai dalam usia yang masih cukup muda. Namun namanya, perjalanan, dan cita-citanya selalu hidup hingga film apik ini ada. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar