Pelupa mungkin menjadi nama tengah yang sudah saya
sandang sejak lama. Tak terhitung berapa kali ibu mengantar barang-barang
penting yang seharusnya saya bawa ke sekolah sejak zaman SD sampai SMA, atau
girang bertemu seseorang yang saya hapal mukanya tapi tak secuilpun namanya
terlintas di pikran, sampai saya malu sendiri karena harus menggunakan trik
asal panggil agar kemudian dikoreksi oleh pemilik nama :D. Itu baru dua hal,
belum lupa-lupa yang lainnya. Sampai keadaan ini diingat, menjadi bahan ejekan
teman-teman terdekat, dimaklumi dan akhirnya dibantu oleh mereka agar menjadi
memori tambahan bagi saya.
Jangan
kira saya pasrah saja dengan kelemahan satu ini. Untuk mengingat banyak hal
penting, sehari-hari saya membuat catatan berlapis di berbagai tempat yang
mudah saya akses agar tak lagi kelupaan. Tapi sialnya, menjadi lupa lebih mudah
dan banyak caranya dari sekedar menengok catatan yang sudah saya siapkan. Tak
terkecuali hari itu, satu hari yang biasa pada waktu perkuliahan. Setelah
seharian menyelesaikan jam-jam kuliah dan menyetor tugas tanda rusuh yang
tandanya saya tak kelupaan mengerjakan, saya pikir saya akan pulang dengan
tenang. Nyatanya, ingatan saya ingin bercanda dengan tak mengingat letak benda
kecil tapi penting. Kunci motor! Kejadian seperti ini memang bukan yang pertama
bagi saya, tapi biasanya saya hanya lupa dibagian tas mana saya menaruhnya. Maka
dengan tenang karena merasa tak hilang atau tertinggal di motor, saya
membongkar tas ransel yang saya gunakan sambil masih tertawa-tawa dengan
beberapa teman. Hasilnya? Tidak ada.
Teman-teman
yang masih di kelas menyarankan untuk
tetap tenang, karena muka saya mulai panik. Ada yang membantu mencari ulang di
dalam tas, yang lain meminta saya mengingat dimana saja saya beredar seharian
ini. Saya mengumpat dalam hati karena kesal karena seharian saya sudah berpindah
entah berapa kali ke ruangan yang berbeda, hari sudah sore dan beberapa teman
sudah pulang sebelum saya. Tapi daripada saya tak bisa pulang, maka jadilah
saya pamit ke mereka yang masih ada di kelas untuk menengok satu-satu tempat
yang kemungkinan dengan bodohnya saya meninggalkan kunci.
Ada tiga orang yang mengekor di
belakang. Saya kira, mereka hanya ingin keluar kelas bersama saya, sekalian. Ternyata,
mereka meminta saya yang sudah berjalan cepat untuk menunggu. Salahsatu dari
mereka meminta saya untuk sejenak mengingat dimana terakhir kali saya memegang
kunci itu agar tak usah berkeliling ke semua ruangan yang saya datangi seharian
sampai akhirnya saya sdar bahwa kunci itu hilang. Dengan memori yang tinggal
seadanya, saya menjawab ragu-ragu dimana kunci itu terakhir saya pegang. Mereka
menenangkan dan mengarahkan untuk ke ruangan tersebut, ruangan kuliah jam
pertama kami pagi tadi. Bahkan mereka yang mau meluangkan diri untuk tetap
menemani saya mencari kunci apabila di ruangan itu ternyata kunci saya belum
ditemukan. Kami berempat akhirnya menuju kesana dan ternyata benar, kunci itu
masih ada di kursi yang saya duduki tadi pagi.
Saya sempat berpikir kalau setelah ini saya
ditertawakan atau dinasihati panjang lebar seperti biasanya orang-orang lakukan
kepada saya, saya hanya akan pasrah. Karena memang ini salah saya dan sudah
merepotkan mereka pula, biarpun saya tak meminta. Ternyata, reaksi mereka jauh
dari bayangan saya. Mereka mengucap syukur bersamaan saat saya perlihatkan
kunci di tangan sambil tertawa-tawa bodoh, setelah itu mereka mengajak saya
pulang dan meminta saya hati-hati. Sudah hanya itu. Dari kami berempat hanya
saya yang pulang naik motor, mereka bertiga jalan kaki untuk pulang ke kos. Akhirnya
saya hanya bisa mengucapkan terimakasih dengan sungkan karena tak mungkin
membonceng ketiganya atau memilih salah satu dari mereka.
Sampai di kos, saya masih tertegun
mendapati sikap mereka bertiga. Ketiganya, meskipun teman sekelas saya, bukan
teman-teman yang sejak awal tergolong dekat dengan saya. Bahkan mungkin, saya
sangat pernah menyakiti mereka secara langsung. Tapi hebatnya, justru mereka
yang datang tanpa diminta dan tak menggurui saya untuk mengingat hal-hal
penting dengan baik dengan memaklumi bahwa setiap orang bisa saja lupa. Mungkin
ini yang disebut seorang kawan, hadir pada saat masa sulit bukan untuk sekedar
mentertawakan tapi juga memberikan bantuan. Kepada mereka yang mungkin sudah
lupa atau menganggap hal ini biasa, percayalah saya tak mau sedikitpun
mengalpakan. Tulisan kecil ini mengkekalkan buktinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar