Sabtu, 18 Juni 2016

#ProjectBerdua : Hadiah Bagi si Pelupa



          Pelupa mungkin menjadi nama tengah yang sudah saya sandang sejak lama. Tak terhitung berapa kali ibu mengantar barang-barang penting yang seharusnya saya bawa ke sekolah sejak zaman SD sampai SMA, atau girang bertemu seseorang yang saya hapal mukanya tapi tak secuilpun namanya terlintas di pikran, sampai saya malu sendiri karena harus menggunakan trik asal panggil agar kemudian dikoreksi oleh pemilik nama :D. Itu baru dua hal, belum lupa-lupa yang lainnya. Sampai keadaan ini diingat, menjadi bahan ejekan teman-teman terdekat, dimaklumi dan akhirnya dibantu oleh mereka agar menjadi memori tambahan bagi saya.
            Jangan kira saya pasrah saja dengan kelemahan satu ini. Untuk mengingat banyak hal penting, sehari-hari saya membuat catatan berlapis di berbagai tempat yang mudah saya akses agar tak lagi kelupaan. Tapi sialnya, menjadi lupa lebih mudah dan banyak caranya dari sekedar menengok catatan yang sudah saya siapkan. Tak terkecuali hari itu, satu hari yang biasa pada waktu perkuliahan. Setelah seharian menyelesaikan jam-jam kuliah dan menyetor tugas tanda rusuh yang tandanya saya tak kelupaan mengerjakan, saya pikir saya akan pulang dengan tenang. Nyatanya, ingatan saya ingin bercanda dengan tak mengingat letak benda kecil tapi penting. Kunci motor! Kejadian seperti ini memang bukan yang pertama bagi saya, tapi biasanya saya hanya lupa dibagian tas mana saya menaruhnya. Maka dengan tenang karena merasa tak hilang atau tertinggal di motor, saya membongkar tas ransel yang saya gunakan sambil masih tertawa-tawa dengan beberapa teman. Hasilnya? Tidak ada.

            Teman-teman yang  masih di kelas menyarankan untuk tetap tenang, karena muka saya mulai panik. Ada yang membantu mencari ulang di dalam tas, yang lain meminta saya mengingat dimana saja saya beredar seharian ini. Saya mengumpat dalam hati karena kesal karena seharian saya sudah berpindah entah berapa kali ke ruangan yang berbeda, hari sudah sore dan beberapa teman sudah pulang sebelum saya. Tapi daripada saya tak bisa pulang, maka jadilah saya pamit ke mereka yang masih ada di kelas untuk menengok satu-satu tempat yang kemungkinan dengan bodohnya saya meninggalkan kunci.
Ada tiga orang yang mengekor di belakang. Saya kira, mereka hanya ingin keluar kelas bersama saya, sekalian. Ternyata, mereka meminta saya yang sudah berjalan cepat untuk menunggu. Salahsatu dari mereka meminta saya untuk sejenak mengingat dimana terakhir kali saya memegang kunci itu agar tak usah berkeliling ke semua ruangan yang saya datangi seharian sampai akhirnya saya sdar bahwa kunci itu hilang. Dengan memori yang tinggal seadanya, saya menjawab ragu-ragu dimana kunci itu terakhir saya pegang. Mereka menenangkan dan mengarahkan untuk ke ruangan tersebut, ruangan kuliah jam pertama kami pagi tadi. Bahkan mereka yang mau meluangkan diri untuk tetap menemani saya mencari kunci apabila di ruangan itu ternyata kunci saya belum ditemukan. Kami berempat akhirnya menuju kesana dan ternyata benar, kunci itu masih ada di kursi yang saya duduki tadi pagi.
Saya sempat berpikir kalau setelah ini saya ditertawakan atau dinasihati panjang lebar seperti biasanya orang-orang lakukan kepada saya, saya hanya akan pasrah. Karena memang ini salah saya dan sudah merepotkan mereka pula, biarpun saya tak meminta. Ternyata, reaksi mereka jauh dari bayangan saya. Mereka mengucap syukur bersamaan saat saya perlihatkan kunci di tangan sambil tertawa-tawa bodoh, setelah itu mereka mengajak saya pulang dan meminta saya hati-hati. Sudah hanya itu. Dari kami berempat hanya saya yang pulang naik motor, mereka bertiga jalan kaki untuk pulang ke kos. Akhirnya saya hanya bisa mengucapkan terimakasih dengan sungkan karena tak mungkin membonceng ketiganya atau memilih salah satu dari mereka.

Sampai di kos, saya masih tertegun mendapati sikap mereka bertiga. Ketiganya, meskipun teman sekelas saya, bukan teman-teman yang sejak awal tergolong dekat dengan saya. Bahkan mungkin, saya sangat pernah menyakiti mereka secara langsung. Tapi hebatnya, justru mereka yang datang tanpa diminta dan tak menggurui saya untuk mengingat hal-hal penting dengan baik dengan memaklumi bahwa setiap orang bisa saja lupa. Mungkin ini yang disebut seorang kawan, hadir pada saat masa sulit bukan untuk sekedar mentertawakan tapi juga memberikan bantuan. Kepada mereka yang mungkin sudah lupa atau menganggap hal ini biasa, percayalah saya tak mau sedikitpun mengalpakan. Tulisan kecil ini mengkekalkan buktinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar