Sabtu, 25 April 2015

Bercerita Tentang Guru





Minggu lalu, saya bersama seorang teman mengagendakan nonton film Indonesia yang sebenarnya sudah cukup lama tayang di bioskop. Kenapa film Indonesia? Karena beruntungnya (atau sialnya) film yang sedang tayang di bioskop banyak sekali yang tergolong film bagus. Jadilah kami memutuskan menonton film berjudul  Guru Bangsa, Tjokroaminoto karena tak mungkin rasanya anak kos-kosan seperti kami nonton semua film dan rasanya tidak etis jika sampai harus menonton film karya bangsa sendiri dalam keadaan bajakan  susah juga sih cari bajakan filmindonesia.  Memilih film ini pun saya dasarkan pada kekaguman saya terhadap sosok Soekarno sang proklamator yang namanya mendunia yang tak mungkin dapat sehebat itu bila tak terpengaruh lingkungan sekitarnya dan sosok H. O. S Tjokroaminoto adalah salahsatu yang saya tuduhkan sejak dulu membuatnya begitu berhasil.

Film ini berdurasi nyaris tiga jam (informasi utnuk yang belum nonton) dan bertaburan banyak bintang hebat baik dari mereka yang memang sudah malang melintang di dunia film dan teater sampai bintang baru yang nyaris imbang. Pak Tjokro kecil diperankan oleh Cristopher Nelwan yang entah bagaimana justru terlihat sangat njawa padahal mukanya agak londo menurut saya, poin lebih deh untuk tim makeup artist nya! Kemudian pak Tjokro dewasa dimainkan oleh Reza Rahadian dengan  cukup apik, sebelum menonton film ini, image Habibie yang pernah diperankannya masih melekat kuat dalam ingatan saya begitu mendengar nama aktor ganteng ini. Tetapi ternyata baru beberapa menit layar menampilkan kilas adegan Tjokro, saya seakan-akan juga hidup dalam masa yang sama dan pernah melihat gerak-gerik  juga mimik muka pak Tjokro dalam keseharian. Lewat film ini juga, saya semakin gandrung pada logat dan budaya Jawa Timuran yang belakangan sedang ingin saya datangi tanahnya.
Apiknya peran Reza Rahadian dan pemain-pemain lain yang juga kebanyakan berlatar belakang suku Jawa membuat saya banyak mengetahui banyak cerita yang semoga fakta, dari mulai kegelisahan seorang Tjokroaminoto yang menghasilkan perjalanan hidup selalu memberi juga tak membedakan manusia dalam sebuah kaum yang didoktrinkan para penjajah zaman dahulu dan sepertinya butuh lebih dari sepuluh Tjokro zaman sekarang untuk kembali menghidupkan ajarannya. Cita-citanya memanusiakan manusia yang berati berani menggunakan akal, budi juga segala yang dimiliki dengan sesuai porsinya adalah pelajaran berikutnya yang sampai kepada saya agar tak melulu mengandalkan fisik atau kuasa semata, terlebih untuk berubah menjadi merdeka.
Hal menarik lain yang saya dapat dari film ini adalah kehidupan pribadi pak Tjokro yang selama ini belum saya ketahui  sama sekali dan ternyata membuat pengaruh yang begitu besar pada perjalanan hijrah yang dilakukan beliau juga saat beliau diharuskan untuk membaca kebutuhan bangsanya sendiri. Seorang istri yang begitu tangguh ada di sampingnya, meski sebelumnya mereka bukanlah dua orang yang saling mengenal bukan berarti tak ada cinta sehidup semati bagi pak Tjokro. Tak ada kata menyerah meski harus meredam tanpa menyalahkan perbuatan anak asuhannya yang menyimpang dari apa yang beliau ajarkan adalah buah dari sabar dan setia yang dihadiahkan sang istri padanya, menurut saya. Pendamping seorang Tjokro juga adalah seorang yang berwawasan luas tentunya, jika tidak tak mungkin dibiarkan suaminya membangun bangsanya sebesar yang dikehendaki dengan tetap menyangga apa yang mereka miliki di dalam rumah. Peran ini cukup  sukses dibawakan oleh seorang aktris muda yang saya lupa namanya dengan kecantikan dan pembawaan khas perempuan Jawa pada masa itu.
Banyak hal yang begitu saya kagumi dari film ini bukan berarti saya yang tukang protes sana-sini tak menemukan celah untuk diocehkan disini. Secara keseluruhan visual dan suara diatur sedemikian cantik, sayangnya mungkin karena mencari benda-benda yang khas pada zaman itu bukanlah perkara mudah jadi beberapa detail di film agak kecolongan, selain itu adanya Maia Estianty yang berperan sebagi ibu mertua dari pak Tjokro terasa jauh dari apa yang saya ekpetasikan dalam berperan mengingat dirinya adalah kelahiran Jawa Timur asli tapi justru kurang greget  disana. Lagi, adanya noni Belanda yang rusuh mempertanyakan eksisitensi dirinya sendiri akibat statusnya yang tak jelas yang diperankan oleh Chelsea Islan terasa menggantung dan hanya dibuat untuk nambah-nambahi sepengamatan saya selama film entah karena pemilihan dialog yang kurang tepat padahal banyak berisi informasi atau fakta penting atau karena faktor lain.
Akhirnya film ini adalah cerita seorang guru yang baik karena bisa membuat murid seperti saya jatuh cinta pada banyak sisi, ya budaya tak cuma Jawa Timuran yang terdengar baru bagi saya dengan banyak pemahaman dan filososfi, ya juga pada sejarah bangsa ini yang memperlihatkan tut wuri handayani  dalam skala nyata yang besar dan tercatatkan sejarah bahwa tak melulu harus ada di garis terdepan untuk membuat perubahan dan tentunya sekali lagi jatuh cinta pada Soekarno atau disbut Kusno di film ini yang divisualisasikan sebegitu tampannya untuk zaman itu. Sekali lagi yang harus disayangkan, pada saat menonton film ini dalam satu teater hanya ada belasan orang yang mengisi bangku, mungkin memang karena film ini sudah lama masa putarnya sehingga yang lain sudah nonton dan saya dan teman saya saja yang ketinggalan. Semoga saja berikutnya lebih banyak sineas yang makin berani untuk merelakan dirinya menjadi media belajar sejarah yang asyik seperti sineas-sineas pada film ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar