Minggu lalu,
saya bersama seorang teman mengagendakan nonton film Indonesia yang sebenarnya
sudah cukup lama tayang di bioskop. Kenapa film Indonesia? Karena beruntungnya
(atau sialnya) film yang sedang tayang di bioskop banyak sekali yang tergolong
film bagus. Jadilah kami memutuskan menonton film berjudul Guru
Bangsa, Tjokroaminoto karena tak mungkin rasanya anak kos-kosan seperti
kami nonton semua film dan rasanya tidak etis jika sampai harus menonton film
karya bangsa sendiri dalam keadaan bajakan
susah juga sih cari bajakan filmindonesia. Memilih film ini pun saya dasarkan pada
kekaguman saya terhadap sosok Soekarno sang proklamator yang namanya mendunia
yang tak mungkin dapat sehebat itu bila tak terpengaruh lingkungan sekitarnya
dan sosok H. O. S Tjokroaminoto adalah salahsatu yang saya tuduhkan sejak dulu membuatnya
begitu berhasil.
Film ini
berdurasi nyaris tiga jam (informasi utnuk yang belum nonton) dan bertaburan
banyak bintang hebat baik dari mereka yang memang sudah malang melintang di
dunia film dan teater sampai bintang baru yang nyaris imbang. Pak Tjokro kecil
diperankan oleh Cristopher Nelwan yang entah bagaimana justru terlihat sangat njawa padahal mukanya agak londo menurut saya, poin lebih deh untuk
tim makeup artist nya! Kemudian pak
Tjokro dewasa dimainkan oleh Reza Rahadian dengan cukup apik, sebelum menonton film ini, image Habibie yang pernah diperankannya
masih melekat kuat dalam ingatan saya begitu mendengar nama aktor ganteng ini.
Tetapi ternyata baru beberapa menit layar menampilkan kilas adegan Tjokro, saya
seakan-akan juga hidup dalam masa yang sama dan pernah melihat gerak-gerik juga mimik muka pak Tjokro dalam keseharian.
Lewat film ini juga, saya semakin gandrung pada logat dan budaya Jawa Timuran
yang belakangan sedang ingin saya datangi tanahnya.
Apiknya peran
Reza Rahadian dan pemain-pemain lain yang juga kebanyakan berlatar belakang
suku Jawa membuat saya banyak mengetahui banyak cerita yang semoga fakta, dari
mulai kegelisahan seorang Tjokroaminoto yang menghasilkan perjalanan hidup
selalu memberi juga tak membedakan manusia dalam sebuah kaum yang didoktrinkan
para penjajah zaman dahulu dan sepertinya butuh lebih dari sepuluh Tjokro zaman
sekarang untuk kembali menghidupkan ajarannya. Cita-citanya memanusiakan
manusia yang berati berani menggunakan akal, budi juga segala yang dimiliki
dengan sesuai porsinya adalah pelajaran berikutnya yang sampai kepada saya agar
tak melulu mengandalkan fisik atau kuasa semata, terlebih untuk berubah menjadi
merdeka.
Hal menarik
lain yang saya dapat dari film ini adalah kehidupan pribadi pak Tjokro yang
selama ini belum saya ketahui sama
sekali dan ternyata membuat pengaruh yang begitu besar pada perjalanan hijrah
yang dilakukan beliau juga saat beliau diharuskan untuk membaca kebutuhan
bangsanya sendiri. Seorang istri yang begitu tangguh ada di sampingnya, meski
sebelumnya mereka bukanlah dua orang yang saling mengenal bukan berarti tak ada
cinta sehidup semati bagi pak Tjokro. Tak ada kata menyerah meski harus meredam
tanpa menyalahkan perbuatan anak asuhannya yang menyimpang dari apa yang beliau
ajarkan adalah buah dari sabar dan setia yang dihadiahkan sang istri padanya,
menurut saya. Pendamping seorang Tjokro juga adalah seorang yang berwawasan
luas tentunya, jika tidak tak mungkin dibiarkan suaminya membangun bangsanya
sebesar yang dikehendaki dengan tetap menyangga apa yang mereka miliki di dalam
rumah. Peran ini cukup sukses dibawakan
oleh seorang aktris muda yang saya lupa namanya dengan kecantikan dan pembawaan
khas perempuan Jawa pada masa itu.
Banyak hal
yang begitu saya kagumi dari film ini bukan berarti saya yang tukang protes
sana-sini tak menemukan celah untuk diocehkan disini. Secara keseluruhan visual
dan suara diatur sedemikian cantik, sayangnya mungkin karena mencari
benda-benda yang khas pada zaman itu bukanlah perkara mudah jadi beberapa
detail di film agak kecolongan,
selain itu adanya Maia Estianty yang berperan sebagi ibu mertua dari pak Tjokro
terasa jauh dari apa yang saya ekpetasikan dalam berperan mengingat dirinya
adalah kelahiran Jawa Timur asli tapi justru kurang greget disana. Lagi, adanya
noni Belanda yang rusuh mempertanyakan eksisitensi dirinya sendiri akibat
statusnya yang tak jelas yang diperankan oleh Chelsea Islan terasa menggantung
dan hanya dibuat untuk nambah-nambahi sepengamatan
saya selama film entah karena pemilihan dialog yang kurang tepat padahal banyak
berisi informasi atau fakta penting atau karena faktor lain.
Akhirnya film ini adalah cerita
seorang guru yang baik karena bisa membuat murid seperti saya jatuh cinta pada
banyak sisi, ya budaya tak cuma Jawa Timuran yang terdengar baru bagi saya
dengan banyak pemahaman dan filososfi, ya juga pada sejarah bangsa ini yang
memperlihatkan tut wuri handayani dalam skala nyata yang besar dan tercatatkan
sejarah bahwa tak melulu harus ada di garis terdepan untuk membuat perubahan
dan tentunya sekali lagi jatuh cinta pada Soekarno atau disbut Kusno di film
ini yang divisualisasikan sebegitu tampannya untuk zaman itu. Sekali lagi yang
harus disayangkan, pada saat menonton film ini dalam satu teater hanya ada
belasan orang yang mengisi bangku, mungkin memang karena film ini sudah lama
masa putarnya sehingga yang lain sudah nonton dan saya dan teman saya saja yang
ketinggalan. Semoga saja berikutnya lebih banyak sineas yang makin berani untuk
merelakan dirinya menjadi media belajar sejarah yang asyik seperti
sineas-sineas pada film ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar