Sabtu, 03 Maret 2018

Perayaan Cap Go Meh Singkawang: Bersiap Membersihkan Kota dari Marabahaya




Cerita ini akan menjadi bagian kedua setelah bagian pertama saya bercerita bagaimana menikmati pawai lampion di Singkawang. Silakan bagi yang belum membaca seklumit ceritanya, ada di sini ya. Kenapa harus ada banyak bagian? Karena Singkawang dan perayaan Cap Go Mehnya punya makna lebih dari sekadar wisata dan hiburan. Sayang kalau hanya tersimpan dalam ingatan sendiri, mudah lupa dan tak bisa saling mengingatkan.

Salah satu rombongan pengantar Tatung di depan gerbang Cap Go Meh

Di pagi hari setelah pawai lampion, ternyata Singkawang masih melanjutkan keriuhannya. Ketika saya bersama enam teman lainnya tiba di kota sekitar jam 10.00 WIB, ruas-ruas jalan kota sudah dipadati berbagai rombongan. Baik mereka yang berjalan kaki maupun menaiki truk terbuka. Rupanya, pagi itu adalah saatnya para Tatung ‘turun gunung’. Mereka mengadakan ritual Cuci Jalan sebelum hadir di puncak acara keesokan harinya. Ritual ini dimaksudkan untuk membersihkan kota dari hal-hal negatif sekaligus agar semua yang ada diberikan keselamatan.
 
Salah satu Tatung yang memohon restu kepada Dewa
Meski rombongan dari berbagai yayasan atau komunitas ini tersebar di seluruh kota, ternyata ada satu Vihara yang menjadi pusat kegiatan Cuci Jalan. Vihara Tri Dharma Bumi Raya, namanya. Seluruh Tatung dan naga yang terlihat memeriahkan acara bergantian bersembahyang di Vihara ini. Konon, ini karena Vihara Tri Dharma atau yang dikenal oleh warga lokal dengan nama Toapekong merupakan Vihara tertua di Singkawang. Sehari sebelum acara Cap Go Meh di Singkawang berlangsung, Vihara ini sibuk sejak pagi hingga malam hari. Para tatung datang untuk meminta restu agar roh dewa atau leluhur dapat hadir melalui tubuh mereka.

Selama proses meminta restu ini dijalankan, petugas Vihara beberapa kali menabuh bedug besar berwarna merah dan lonceng sebagai ungkapan kepada Dewa agar hadir di tempat tersebut. Bedug ini juga ditabuh ketika adzan dzuhur berkumandang dan semua iring-iringan tatung berhenti sementara. Hal ini ternyata, sebagai bentuk toleransi kepada warga muslim yang akan menjalanakan ibadah solat. Melihat pemandangan ini, hati saya hangat dan paham mengapa Singkawang selalu masuk ke dalam urutan tiga teratas kota paling toleran di negeri ini. Pun, ketika Vihara ini sedang sibuk-sibuknya, saya dan teman-teman yang ingin mengabadikan prosesi ini dari dekat tetap diperbolehkan dengan senyum dan tangan terbuka. Bahkan, beberapa pengelola Vihara tak segan menjawab keingintahuan saya tentang berbagai hal mengenai tempat dan ritual yang baru pertama kali saya datangi. Mereka yang memaklumi ketakutan saya akan pandangan kosong tatung, mempersilakan saya merapat di sudut yang aman sehingga tetap bisa mengamati dari dekat tanpa perasaan cemas.
 
Suasana di depan Vihara Tri Dharma Bumi Raya
Di luar Vihara, bau dupa tetap pekat di udara dan kertas doa berterbangan di teriknya Singkawang ketika proses ini dijalankan. Karena para tatung yang telah mendapat restu dari leluhur atau dewa kembali berkeliling kota. Selain untuk membersihkan kota dari berbagai hal yang mengundang bahaya, rombongan juga mengantar tatung yang belum memperoleh restu ke vihara-vihara selanjutnya agar keesokan harinya bisa menjalankan pawai dengan lancar. Hal ini dikarenakan dalam satu rombongan bisa terdapat lebih dari lima tatung dan tak semua ‘bertemu’ dengan roh leluhur di tempat yang sama. Antusias warga, baik yang menetap atau sedang pulang ke kampung halaman tak bisa disembunyikan. Meskipun proses ini dijanlankan setiap tahunnya, mereka tetap rela berpanas-panas menyaksikan persiapan puncak acara yang menjadi kebanggan kota.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar