Cerita ini akan menjadi bagian kedua
setelah bagian pertama saya bercerita bagaimana menikmati pawai lampion di
Singkawang. Silakan bagi yang belum membaca seklumit ceritanya, ada di sini ya.
Kenapa harus ada banyak bagian? Karena Singkawang dan perayaan Cap Go Mehnya
punya makna lebih dari sekadar wisata dan hiburan. Sayang kalau hanya tersimpan
dalam ingatan sendiri, mudah lupa dan tak bisa saling mengingatkan.
Salah satu rombongan pengantar Tatung di depan gerbang Cap Go Meh |
Di pagi hari setelah pawai lampion,
ternyata Singkawang masih melanjutkan keriuhannya. Ketika saya bersama enam
teman lainnya tiba di kota sekitar jam 10.00 WIB, ruas-ruas jalan kota sudah
dipadati berbagai rombongan. Baik mereka yang berjalan kaki maupun menaiki truk
terbuka. Rupanya, pagi itu adalah saatnya para Tatung ‘turun gunung’. Mereka
mengadakan ritual Cuci Jalan sebelum hadir di puncak acara keesokan harinya. Ritual
ini dimaksudkan untuk membersihkan kota dari hal-hal negatif sekaligus agar
semua yang ada diberikan keselamatan.
Meski rombongan dari berbagai yayasan
atau komunitas ini tersebar di seluruh kota, ternyata ada satu Vihara yang
menjadi pusat kegiatan Cuci Jalan. Vihara Tri Dharma Bumi Raya, namanya.
Seluruh Tatung dan naga yang terlihat memeriahkan acara bergantian
bersembahyang di Vihara ini. Konon, ini karena Vihara Tri Dharma atau yang
dikenal oleh warga lokal dengan nama Toapekong merupakan Vihara tertua di
Singkawang. Sehari sebelum acara Cap Go Meh di Singkawang berlangsung, Vihara
ini sibuk sejak pagi hingga malam hari. Para tatung datang untuk meminta restu
agar roh dewa atau leluhur dapat hadir melalui tubuh mereka.
Selama proses meminta restu ini
dijalankan, petugas Vihara beberapa kali menabuh bedug besar berwarna merah dan
lonceng sebagai ungkapan kepada Dewa agar hadir di tempat tersebut. Bedug ini
juga ditabuh ketika adzan dzuhur berkumandang dan semua iring-iringan tatung
berhenti sementara. Hal ini ternyata, sebagai bentuk toleransi kepada warga
muslim yang akan menjalanakan ibadah solat. Melihat pemandangan ini, hati saya
hangat dan paham mengapa Singkawang selalu masuk ke dalam urutan tiga teratas
kota paling toleran di negeri ini. Pun, ketika Vihara ini sedang
sibuk-sibuknya, saya dan teman-teman yang ingin mengabadikan prosesi ini dari dekat
tetap diperbolehkan dengan senyum dan tangan terbuka. Bahkan, beberapa
pengelola Vihara tak segan menjawab keingintahuan saya tentang berbagai hal
mengenai tempat dan ritual yang baru pertama kali saya datangi. Mereka yang
memaklumi ketakutan saya akan pandangan kosong tatung, mempersilakan saya
merapat di sudut yang aman sehingga tetap bisa mengamati dari dekat tanpa
perasaan cemas.
Di luar Vihara, bau dupa tetap pekat
di udara dan kertas doa berterbangan di teriknya Singkawang ketika proses ini
dijalankan. Karena para tatung yang telah mendapat restu dari leluhur atau dewa
kembali berkeliling kota. Selain untuk membersihkan kota dari berbagai hal yang
mengundang bahaya, rombongan juga mengantar tatung yang belum memperoleh restu
ke vihara-vihara selanjutnya agar keesokan harinya bisa menjalankan pawai
dengan lancar. Hal ini dikarenakan dalam satu rombongan bisa terdapat lebih
dari lima tatung dan tak semua ‘bertemu’ dengan roh leluhur di tempat yang
sama. Antusias warga, baik yang menetap atau sedang pulang ke kampung halaman
tak bisa disembunyikan. Meskipun proses ini dijanlankan setiap tahunnya, mereka
tetap rela berpanas-panas menyaksikan persiapan puncak acara yang menjadi
kebanggan kota.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar