Butuh dua tahun untuk mengaku, itu pun saat
akhirnya harus benar-benar pergi. Saya tidak lagi bisa hanya berpamitan
sebentar, kemudian disambut senyum atau gelak tawa saat pulang. Tawaran untuk
ambil bagian menjadi lebih berguna juga sudah jauh tertinggal berbentuk cerita
bersama mereka. Sebelum tulisan ini berlanjut, saya mau mengingatkan bahwa
tulisan ini akan jadi memorandum dalam bahasan paling singkat. Mungkin, satu
dua hal tidak disetujui anggota yang sama-sama ada di dalam rumah ini saat mereka membacanya, saya
tidak peduli. Ini adalah kacamata saya, juga semua nada dalam kepala yang bisa
saya terjemahkan.
Awalnya, saya tak pernah memutuskan menetap.
Janji untuk menjadi anak baik-baik di tanah rantau adalah alasannya. Namun
kemudian, secara implusif saya larut sendiri dalam rumah ini, paling tidak itu
yang teman-teman satu kelas dan satu kos katakan. Saya yang datang dengan
sangat hati-hati dan berjingkat untuk mengenal satu, dua hingga puluhan wajah
penghuni rumah ini lebih sering
tergelincir tipu. Mereka sering melepas pegangan yang saya gunakan untuk tak
sembarang menilai orang. Akibatnya, bukan sedikit orang yang saya ajak tertawa,
tertawai atau bahkan saya bully adalah
pribadi-pribadi mengagumkan di luar sana. Saya tidak akan meyebut siapa dan
apa, karena saya tidak mau mereka menyangkal habis-habisan atau malah jadi
besar kepala. Tapi saya tidak pernah berhenti meskipun tau, karena kami memang
tak pernah tertawa sendiri-sendiri. Rumah
ini seperti meminta untuk kami bersenang-senang setiap hari, saya setuju.
Bukan hanya berbagai tingkah laku, kami
menertawai setiap hal yang terjadi. Entah sebagai awal, ikut dalam proses
ataupun penutup setiap kami harus menjadi sedikit bermanfaat sebagai upeti kami
hidup di rumah ini. Beberapa orang
memutuskan pergi, entah karena terganggu dari tawa-tawa sumbang kami, merasa
terlalu sesak di sini, atau kekurangan bahkan memiliki energi berlebih. Banyak
alasan yang tidak saya tau atas
kepergian yang tidak lagi kembali. Rumah
ini mengajarkan untuk saya lebih peduli dengan kesabarannya yang diburu waktu,
saya kalah. Karena saya juga pernah menimbang beberapa kali untuk pergi. Beruntung,
beberapa anggota keluarga lain yang telah lulus uji peduli meminta saya
kembali. Dasarnya rumah ini
menjangkar pada kaki juga hati atau alasan saya yang tak cukup berarti, maka
saya kembali.
Rumah
yang pada dasarnya
mewadahi kegemaran pada multikultural bahasa dan budaya untuk setiap yang
datang, ternyata menyuguhkan hal-hal luar biasa bagi yang mau untuk menetap. Hampir
seluruh penghuninya adalah kunci semua itu terjadi. Sebelum ini, rasanya
mewujudkan sesuatu yang besar adalah perihal kesepadanan pandangan orang-orang,
tapi di sini saat semua mata melihat buah proses kami – yang saling
bahu-membahu sambil sesekali melempar celaan dan dukungan – dengan pujian
semacam, “SAFEL keren ya bisa bikin acara
seperti ini”, selalu datang rasa ingin memperbaiki banyak hal sekaligus lega
bahwa hasil kami besenang-senang juga bisa membuat banyak tawa dan senyum
tercipta. Iya, rumah ini adalah SAFEL. Sebuah unit kegiatan yang terlihat
paling di luar nalar dalam kelompok UKM penalaran. UKM lain dalam kelompok ini
seringkali terlihat sibuk dengan kertas, penghitungan, judul-judul penelitian
atau sederet medali dan piala di rak pajang. Sedangkan dari rumah ini, lebih
sering memperdengarkan sederet lagu yang kebanyakan juga saya tidak tau
bagaimana menyanyikannya sambil ditimpali berbagai diskusi seri komik keluaran
terbaru, makanan enak, sederet daftar bacaan, ataupun film. Selain serangkai
acara dari awal hingga akhir tahun yang berusaha kami helat sebaik-baiknya.
satu dari banyak agenda |
Sekian paragraf di atas seperti menggambarkan
kami lebih dari cukup ya untuk bersenang-senang? Kenyataannya tidak juga. Kami mendebat
satu sama lain sebelum atau setelah tawa. Kami seringkali ditipu waktu yang
pongah, berlompatan menyelesaikan satu agenda ke agenda baru, belum lagi tujuan
utama kami sebagai pelajar di tingkat atas yang dituntut mandiri.
Berpuluh-puluh keluhan terbit dalam berbagai bentuk, diam, cerita-cerita yang
sarat duka, telelap di rumah ini, sakit, tangis, sampai melipir minggir masuk
dalam episode perjalanan ini. Tapi sepasang telinga, sebuah tepukan di bahu,
segaris senyum dari masing-masing kami yang masih punya kekuatan berdiri
membuat segalanya sayang apabila kami menyerah begitu saja sebelum semuanya
selesai.
Kini, saat semuanya rampung rasanya masih jadi fantasi bagi saya. Bukan saya yang
merasa cukup, manusia jarang bisa menyadari rasa itu. Kecukupan adalah kata
rumah ini untuk melepas yang sudah seharusnya terganti. Dua tahun sudah rumah
ini melindungi, mengajari, dan membentuk sesuatu yang tampak maupun tidak dalam
diri ini. Saya diharuskan berpindah, bukan untuk melupakan tapi untuk melangkah
lebih menemukan arti kebermanfaatan lebih dalam dan lebih banyak. Sebuah
kesempatan besar yang rumah ini pernah beri kepada saya. Hutang saya tidak akan
pernah terbayar bila saya tak mampu berbuat lebih banyak untuk berbahagia dan
berusaha membahagiakan orang lain yang pernah diajarkan rumah ini dan seluruh
penghuninya. Terima kasih dua tahun tampungannya, untuk setiap ide gila,
ketidakmungkinan dan pelukan-pelukan hangat penghuninya saat saya selalu rindu
untuk pulang pada ibu. Saya pamit dulu.
kepengurusan pertama |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar