Minggu, 25 Desember 2016

Pengakuan


Butuh dua tahun untuk mengaku, itu pun saat akhirnya harus benar-benar pergi. Saya tidak lagi bisa hanya berpamitan sebentar, kemudian disambut senyum atau gelak tawa saat pulang. Tawaran untuk ambil bagian menjadi lebih berguna juga sudah jauh tertinggal berbentuk cerita bersama mereka. Sebelum tulisan ini berlanjut, saya mau mengingatkan bahwa tulisan ini akan jadi memorandum dalam bahasan paling singkat. Mungkin, satu dua hal tidak disetujui anggota yang sama-sama ada di dalam rumah ini saat mereka membacanya, saya tidak peduli. Ini adalah kacamata saya, juga semua nada dalam kepala yang bisa saya terjemahkan.

Awalnya, saya tak pernah memutuskan menetap. Janji untuk menjadi anak baik-baik di tanah rantau adalah alasannya. Namun kemudian, secara implusif saya larut sendiri dalam rumah ini, paling tidak itu yang teman-teman satu kelas dan satu kos katakan. Saya yang datang dengan sangat hati-hati dan berjingkat untuk mengenal satu, dua hingga puluhan wajah penghuni rumah ini lebih sering tergelincir tipu. Mereka sering melepas pegangan yang saya gunakan untuk tak sembarang menilai orang. Akibatnya, bukan sedikit orang yang saya ajak tertawa, tertawai atau bahkan saya bully adalah pribadi-pribadi mengagumkan di luar sana. Saya tidak akan meyebut siapa dan apa, karena saya tidak mau mereka menyangkal habis-habisan atau malah jadi besar kepala. Tapi saya tidak pernah berhenti meskipun tau, karena kami memang tak pernah tertawa sendiri-sendiri. Rumah ini seperti meminta untuk kami bersenang-senang setiap hari, saya setuju.

Bukan hanya berbagai tingkah laku, kami menertawai setiap hal yang terjadi. Entah sebagai awal, ikut dalam proses ataupun penutup setiap kami harus menjadi sedikit bermanfaat sebagai upeti kami hidup di rumah ini. Beberapa orang memutuskan pergi, entah karena terganggu dari tawa-tawa sumbang kami, merasa terlalu sesak di sini, atau kekurangan bahkan memiliki energi berlebih. Banyak alasan yang tidak saya tau atas  kepergian yang tidak lagi kembali. Rumah ini mengajarkan untuk saya lebih peduli dengan kesabarannya yang diburu waktu, saya kalah. Karena saya juga pernah menimbang beberapa kali untuk pergi. Beruntung, beberapa anggota keluarga lain yang telah lulus uji peduli meminta saya kembali. Dasarnya rumah ini menjangkar pada kaki juga hati atau alasan saya yang tak cukup berarti, maka saya kembali.

Rumah yang pada dasarnya mewadahi kegemaran pada multikultural bahasa dan budaya untuk setiap yang datang, ternyata menyuguhkan hal-hal luar biasa bagi yang mau untuk menetap. Hampir seluruh penghuninya adalah kunci semua itu terjadi. Sebelum ini, rasanya mewujudkan sesuatu yang besar adalah perihal kesepadanan pandangan orang-orang, tapi di sini saat semua mata melihat buah proses kami – yang saling bahu-membahu sambil sesekali melempar celaan dan dukungan – dengan pujian semacam, “SAFEL keren ya bisa bikin acara seperti ini”, selalu datang rasa ingin memperbaiki banyak hal sekaligus lega bahwa hasil kami besenang-senang juga bisa membuat banyak tawa dan senyum tercipta. Iya, rumah ini adalah SAFEL. Sebuah unit kegiatan yang terlihat paling di luar nalar dalam kelompok UKM penalaran. UKM lain dalam kelompok ini seringkali terlihat sibuk dengan kertas, penghitungan, judul-judul penelitian atau sederet medali dan piala di rak pajang. Sedangkan dari rumah ini, lebih sering memperdengarkan sederet lagu yang kebanyakan juga saya tidak tau bagaimana menyanyikannya sambil ditimpali berbagai diskusi seri komik keluaran terbaru, makanan enak, sederet daftar bacaan, ataupun film. Selain serangkai acara dari awal hingga akhir tahun yang berusaha kami helat sebaik-baiknya.
satu dari banyak agenda

Sekian paragraf di atas seperti menggambarkan kami lebih dari cukup ya untuk bersenang-senang? Kenyataannya tidak juga. Kami mendebat satu sama lain sebelum atau setelah tawa. Kami seringkali ditipu waktu yang pongah, berlompatan menyelesaikan satu agenda ke agenda baru, belum lagi tujuan utama kami sebagai pelajar di tingkat atas yang dituntut mandiri. Berpuluh-puluh keluhan terbit dalam berbagai bentuk, diam, cerita-cerita yang sarat duka, telelap di rumah ini, sakit, tangis, sampai melipir minggir masuk dalam episode perjalanan ini. Tapi sepasang telinga, sebuah tepukan di bahu, segaris senyum dari masing-masing kami yang masih punya kekuatan berdiri membuat segalanya sayang apabila kami menyerah begitu saja sebelum semuanya selesai.

Kini, saat semuanya rampung rasanya masih jadi fantasi bagi saya. Bukan saya yang merasa cukup, manusia jarang bisa menyadari rasa itu. Kecukupan adalah kata rumah ini untuk melepas yang sudah seharusnya terganti. Dua tahun sudah rumah ini melindungi, mengajari, dan membentuk sesuatu yang tampak maupun tidak dalam diri ini. Saya diharuskan berpindah, bukan untuk melupakan tapi untuk melangkah lebih menemukan arti kebermanfaatan lebih dalam dan lebih banyak. Sebuah kesempatan besar yang rumah ini pernah beri kepada saya. Hutang saya tidak akan pernah terbayar bila saya tak mampu berbuat lebih banyak untuk berbahagia dan berusaha membahagiakan orang lain yang pernah diajarkan rumah ini dan seluruh penghuninya. Terima kasih dua tahun tampungannya, untuk setiap ide gila, ketidakmungkinan dan pelukan-pelukan hangat penghuninya saat saya selalu rindu untuk pulang pada ibu. Saya pamit dulu.

kepengurusan pertama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar