Teknologi fotografi bermula dari keinginan manusia yang nyatanya  memang menjadi tuntutan kebutuhan untuk bisa merekam gambar sepersis  mungkin. Maka digunakanlah kotak penangkap bayangan gambar, sebuah alat  yang mulanya untuk meneliti konstelasi bintang-bintang secara tepat yang  dipatenkan seorang ahli perbintangan, Gemma Frisius, tahun 1554. Namun  cikal bakalnya sudah dimulai oleh penulis Cina, Moti, pada abad ke-5 SM,  Aristoteles pada abad ke-3 SM, dan seorang ilmuwan Arab ibnu al Haitam  atau Al Hazen pada abad ke-10 M. Kemudian pada tahun 1558 ilmuwan Itali  http://www.britannica.com/eb/topic?idxStructId=470999&typeId=13Giambattista  della Porta menyebut “camera obscura” pada sebuah kotak yang membantu  pelukis menangkap bayangan gambar. 
Awal abad ke-17, Angelo Sala, ilmuwan yang berkebangsaan Italia  menemukan proses “jika serbuk perak nitrat dikenai cahaya warnanya akan  berubah menjadi hitam”. Selanjutnya berbagai percobaan pun dilakukan.  Hingga tahun 1824, seorang seniman lithography Perancis Joseph-Nicéphore  Niépce (1765-1833), setelah 8 jam meng-exposed pemandangan dari jendela  kamarnya melalui proses “Heliogravure” di atas plat logam yang dilapisi  aspal, berhasil melahirkan sebuah imaji yang agak kabur dan berhasil  pula mempertahankan gambar secara permanen. Kemudian ia pun mencoba  menggunakan kamera obscura berlensa. Maka pada tahun 1826 lahirlah  sebuah “foto” yang akhirnya menjadi awal sejarah fotografi.
Merasa kurang puas, tahun 1827 Niépce mendatangi desainer panggung  opera yang juga pelukis, Louis-Jacques Mande’ Daguerre (1787-1851) untuk  mengajaknya berkolaborasi. Sayang sebelum menunjukkan hasil optimal,  Niépce wafat. Baru pada tanggal 19 Agustus 1839, Daguerre dinobatkan  sebagai orang pertama yang berhasil membuat “foto yang sebenarnya”:  sebuah gambar permanen pada lembaran plat tembaga perak yang dilapisi  larutan iodin yang disinari selama satu setengah jam cahaya langsung  dengan pemanas mercuri (neon). Proses ini disebut daguerreotype. Untuk  membuat gambar permanen, pelat dicuci larutan garam dapur dan air  suling.
Di Inggris beberapa bulan sebelumnya, tepatnya 25 Januari 1839,  William Henry Fox Talbot (1800-1877) memperkenalkan “lukisan fotografi”  yang juga menggunakan camera obscura, tapi ia buat positifnya pada  sehelai kertas chlorida perak. Kemudian pada tahun yang sama Talbot  menemukan cikal bakal film negatif modern yang terbuat dari lembar  kertas beremulsi yang bisa digunakan untuk mencetak foto dengan cara  contact print, juga bisa digunakan untuk cetak ulang layaknya film  negatif modern. Proses ini disebut Calotype yang kemudian dikembangkan  menjadi Talbotypes. Untuk menghasilkan gambar positif Talbot menggunakan  proses Saltprint. Gambar dengan film negatif pertama yang dibuat Talbot  pada Agustus 1835 adalah pemandangan pintu perpustakaan di rumahnya di  Hacock Abbey, Wiltshire – Inggris.
Dan di Indonesia, tahun 1997, saat teknologi digital mulai booming,  saya yang mulai menggunakan kamera digital karena tuntutan pekerjaan  sebagai profesional fotografi pun, mulai resah. Saya tidak anti digital,  tapi saya pikir di dunia pendidikan fotografi lebih baik jika  “mengetahui sesuatu dari dasarnya dulu”. Maka berawal dari sukses  memotret pagar depan rumah tinggal dengan menggunakan KLJ kaleng susu  800 gram dengan negatif kertas Chen Fu tahun 1997, digelarlah workshop  perdana pada tahun 2001 di lokasi pembuangan sampah Bantar Gebang dengan  asisten instruktur Ipoel, didukung Galeri i-see, dan disponsori  Kedutaan Belanda. Akhirnya, September tahun 2001 terbitlah buku  “MEMOTRET dengan KAMERA LUBANG JARUM” terbitan Puspaswara. Saya menyebut  pinhole camera dengan sebutan Kamera Lubang Jarum (KLJ) karena konsep  dasar inovasinya berbeda. Saya tidak terlalu mempermasalahkan “teknik”,  tapi mencoba menularkan “rasa yang mendalam” dengan menggunakan kata  kunci khas Indonesia: “secukupnya”. Selanjutnya, digelarlah workshop  tour “gerilya” di Jawa, Bali, bahkan Makassar, hingga pada 17 Agustus  2002 berani memproklamirkan KOMUNITAS LUBANG JARUM INDONESIA (KLJI)  sebagai komunitas para pemain KLJ. 
Sebagai sebuah filosofi KLJI sebenarnya tidak mempersoalkan masalah  “kamera”, tapi makna “lubang jarum” lah yang kami garis bawahi. Karena  lubang jarum bisa berarti kondisi dimana saat sulit datang bertamu dan  pada saat seperti itu kita harus mampu meloloskan diri. Pantas jika  Leonardo Da Vinci menyatakan: “Siapa yang akan percaya dari sebuah  lubang kecil, kita dapat melihat alam semesta”, karena terbukti KLJ  mengajak kita untuk berada dalam suatu ruang yang cukup luas untuk olah  pikir, olah rasa dan bahkan olah fisik. Tetapi ruang itu harus kita  penuhi dengan aksi-aksi nyata. 
Sesungguhnyalah, KLJ menawarkan pemanjaan idealisme yang luarbiasa.  KLJ menawarkan seni proses yang sangat melelahkan, tapi juga KLJ bisa  sangat mengasyikkan. Mungkin hal itulah yang menggelitik sehingga KLJ  bagaikan virus. Sangat pantas jika KLJ di Indonesia digunakan sebagai  kendaraan untuk masalah “pendidikan” dan juga masalah “seni”. Ini  terbukti saat mengikuti “Gigir Manuk Multicultural Art Camp” bulan  september 2002 di Bali. KLJ di terima para seniman Bali dengan tangan  terbuka. Malah kami sempat berkolaborasi bersama seniman lainnya seperti  seniman lukis, tekstil dan bahkan teater. 
Pada buku ke-dua yang diterbitkan Gramedia dalam bentuk majalah edisi  Spesial Chip Foto Video bertajuk “RITUAL FOTOGRAFI” pada tahun 2008,  saya menekankan bahwa fotografer harus melek digital tapi tetap  menggarisbawahi pentingnya ber-KLJ; bahkan pada peluncuran buku tersebut  digelar workshop KLJ tingkat lanjut yang selalu dicitakan sejak  berdirinya KLJI 6 tahun silam, mencetak foto dengan teknik cetak penemu  fotografi, William Henry Fox Talbot, abad 19, Saltprint. Dengan misi  melahirkan kreator dan Instruktur yang berkwalitas, juga jika suatu masa  bahan KLJ seperti kertas foto, developer, fixer, tidak lagi diproduksi  akibat pasar yang berubah menjadi full digital, popularitas KLJ tidak  akan lenyap bahkan seperti lahir kembali. Seperti sejarah lahirnya  kamera beberapa abad lalu. Bahkan mungkin bisa melahirkan 10 George  Eastman “Kodak” versi Indonesia serta bisa mencuri kembali waktu 100  tahun proses penemuan yang “hilang” di dunia fotografi Indonesia.
Tentu sangat ekslusif! Karena hanya orang2 tertentu saja yang mampu  membuat bahan KLJ dengan tangan mereka sendiri (handmade). Bagi  Indonesia yang kaya akan bahan baku dan orang-orang kreatif, peristiwa  seperti itu bukan sebuah khayalan. Membangkitkan kembali proses salt  print, albumen print, cyanotype dan banyak lagi, sepertinya bukan  masalah besar. Terbukti keterbatasan alat dan bahan yang selama ini  menghantui, berubah menjadi kelebihan bahkan pada akhirnya malah menjadi  khas daerah. Sebagai misal, karena di Jogja kaleng rokok mudah didapat  lahirlah KLJ kaleng rokok, bahkan ditemukan pula KLJ kaleng yang bisa  menghasilkan distorsi yang luarbiasa dan ini lahir dan menjadi khas KLJ  Jogja. Tapi karena di Malang kaleng susah didapat, maka lahirlah KLJ  pralon bahkan lahir pula seorang ahli kamera KLJ kotak tripleks. Dan di  jakarta lahir kamera KLJ “pocket” dalam arti sebenarnya, bisa dimasukan  ke dalam saku.
Dan jika efek KLJ disebutkan tidak akrab lingkungan, justru hikmahnya  adalah kita dapat menyisipkan pesan dan memperkenalkan cara menangani  limbah yang ditimbulkan dalam proses fotografi analog dengan benar. KLJ  mengajarkan kita menata limbah dan puing dunia menjadi lebih berarti.  KLJ mengingatkan kita akan dunia materi yang fana sekaligus menjadi alat  untuk pendidikan jiwa, penggemblengan rasa, dan eksplorasi kreativitas  bagi para kreator fotografi Indonesia. 
KLJ bukan alat yang sempurna tapi kendaraan untuk menjadi sempurna,  meski hingga saat ini KLJI masih sarat dengan berbagai ujian, saya tetap  yakin, bahwa kita masih ada di jalan yang benar
-->ragam KLJ 

hasil foto KLJ